Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika resmi ditutup pada Minggu (8/11), para peneliti internasional menilai bahwa proses pemungutan suara di pemilu Myanmar berjalan bebas dan adil, terpantau dari tak adanya keluhan kekerasan atau kecurangan.
"Dari puluhan orang yang kami ajak bicara sejak pukul 06.00, semua orang merasa mereka dapat memilih siapapun yang mereka inginkan dengan perasaan aman," ujar peneliti internasional dari Sekretariat ASEAN, Durudee Sirichanya.
Hal tersebut juga dirasakan oleh seorang manajer pabrik di Myanmar, Shein Win, dan istrinya, Khin Myat Maw, saat tiba sambil bergandengan tangan di tempat pemungutan suara di Yangon, dalam ajang yang disebut-sebut sebagai pemilu paling kredibel selama 25 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka berdua pernah turut serta dalam protes demokrasi pada 1988 yang akhirnya membawa kemenangan bagi pemimpin pro-demokrasi, Aung San Suu Kyi.
"Kami sudah menanti hari ini sejak lama," ujar Khin sambil berdiri dalam antrean.
Seperti dilansir Channel NewsAsia, sorak gembira juga terdengar dari mulut para pemilih yang mengacungkan jarinya untuk memamerkan bahwa mereka telah menggunakan haknya.
Sekitar 30 juta warga ikut serta dalam pesta demokrasi ini. Mereka memeringati hari yang dianggap akan bersejarah bagi bangsa mereka.
Seorang warga yang bekerja sebagai akuntan di Singapura bahkan rela pulang ke Myanmar hanya demi menggunakan hak pilihnya dan langsung kembali ke tempatnya bekerja keesokan harinya.
Di salah satu ruas jalan, seorang kakek berusia 95 tahun, Myint Myint, dibopong menggunakan kursi plastik oleh tiga pria, menembus antrean mengular.
"Pilihan adalah pilihan. Ayo, ini adalah tanggung jawab kita!" seru cucu Myint, Phyo Kyaw.
Pekik terdengar semakin menggema ketika Suu Kyi sampai di tempat pemungutan suara.
Di tengah hingar bingar, terbersit pula kekhawatiran akan terulangnya pemilu 1990, ketika kemenangan Partai Liga Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi dianulir oleh militer berkuasa.
Kegamangan tersebut dirasakan pula oleh Khin May Oo, seorang dokter berusia 73 tahun yang menyumbang suara di Yangon. Menurutnya, pemilu kali ini dapat menjadi titik balik Myanmar, tapi ia juga takut akan kekuatan militer.
"Saya tidak yakin apakah mereka akan menerima hasil pemilu ini," katanya.
Namun, kepala komandan militer Myanmar, Wai Yan Aung, memastikan bahwa pihaknya akan menghormati apapun hasil pemilu, termasuk jika NLD keluar sebagai pemenang.
Di markas militer di Naypyitaw, Wai pun mengaku siap menggunakan pilihnya setelah jam kerjanya usai. Ia mengaku akan mengganti seragamnya dengan busana tradisional saat akan memilih. "Ini adalah hari besar dan sangat dinanti di negara kami," tuturnya.
Namun, keriuhan pesta demokrasi tak dirasakan di beberapa daerah yang masih diliputi kekerasan etnis. Sekitar empat juta orang kehilangan kesempatan menggunakan hak suaranya.
Di Mandalay, sekitar 100 orang dilarang memilih setelah petugas pemilu mengetahui bahwa mereka adalah orang asing yang dimasukkan ke dalam daftar oleh pihak ketiga.
"Ini adalah upaya penipuan. Itu alasan kami melarang mereka memilih," kata seorang anggota Komisi Pemilihan Umum, Hla Soe.
Selain itu, terdapat pula dugaan adanya kesalahan dalam penyusunan daftar pemilih. Linn Htet Aung, seorang pekerja di lembaga non-pemerintah di Yangon, terpaksa mengurungkan niatnya untuk turut serta dalam pemilu lantaran namanya tak ada dalam daftar pemilih.
"Saya marah. Semua teman saya memilih hari ini, tapi saya tidak bisa. Saya ingin memilih pemerintah yang saya suka, tapi saya tidak bisa," ucapnya.
Seorang petugas pengawas pemilu dari NLD, Aung Than Htun, memang mengakui adanya kesalahan dalam sistem pendataan. Ia bahkan menemukan nama orang yang sudah meninggal dalam daftar pemilih.
Namun selain itu, Aung menganggap proses pemungutan suara secara umum berlangsung baik-baik saja.
(stu)