Jakarta, CNN Indonesia -- Kisruh mengenai layanan kendaraan publik berbasis internet tak hanya melanda Indonesia, tapi juga Malaysia. Namun alih-alih melarang, Kementerian Transportasi Malaysia justru tengah melakukan kajian untuk memberlakukan regulasi bagi layanan kendaraan berbagi tumpangan, seperti Uber dan GrabCar.
Menurut Wakil Menteri Transportasi Malaysia, Abdul Aziz Kaprawi, layanan tersebut kini beroperasi di wilayah abu-abu, legal tapi tak memiliki regulasi jelas. Untuk membahas masalah ini, Abdul mengatakan bahwa kementeriannya akan mengadakan loka karya dengan Komisi Transportasi Darat Publik (SPAD).
"Di antara faktor-faktor yang harus dibahas dalam masalah layanan berbagi penumpang ini adalah mereka harus memiliki izin resmi untuk menawarkan layanan ini dan memastikan kendaraan mereka dicek secara berkala di Puspakom (Pusat Pemeriksaan Kenderaan Berkomputer)," ujar Abdul seperti dilansir
Berita Harian, dikutip dari
Malay Mail Online, Kamis (17/12).
Kini, SPAD juga sedang menjalani proses pembuatan amandemen dari Land Public Transport Act 2010 yang memperbolehkan mereka untuk mengambil tindakan langsung terhadap penyedia layanan berbagi penumpang ini, menurut
Paultan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kehadiran teknologi berbagi penumpang ini, para pemilik kendaraan pribadi dapat menawarkan layanan transportasi melalui aplikasi, sering kali tanpa izin resmi. Hal ini menuai protes keras dari para sopir taksi biasa di Malaysia yang merasa mulai dibayangi persaingan tak adil.
Guna meredakan amuk massa, Abdul menyatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan melonggarkan beberapa regulasi bagi perusahaan taksi dan sopir yang dapat meringankan kedua pihak.
Salah satu kelonggaran tersebut adalah dengan kemungkinan memperpanjang jangka waktu pemeriksaan berkala kendaraan dari enam bulan menjadi satu tahun. Sistem taksi-mini juga bisa jadi dimuat dalam perombakan aturan tersebut.
Berbeda dengan Malaysia, pemerintah
Indonesia langsung mengambil tindakan pelarangan operasi layanan ojek atau taksi berbasis internet. Pelarangan tersebut tertuang dalam Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 yang ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, tertanggal 9 November 2015.
"Sehubungan dengan maraknya kendaraan bermotor bukan angkutan umum dengan menggunakan aplikasi internet untuk mengangkut orang dan/atau barang, perlu diambil langkah bahwa pengoperasiannya dilarang," ujar Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Djoko Sasono, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/12).
Djoko mengatakan, surat tersebut juga ditujukan untuk Korps Lalu Lintas Polri, para kapolda, dan gubernur di seluruh Indonesia.
Dia menjelaskan pengoperasian ojek dan uber taksi tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan.
"Ketentuan angkutan umum adalah harus minimal beroda tiga, berbadan hukum dan memiliki izin penyelenggaraan angkutan umum," katanya.
Djoko mengaku pihaknya tidak masalah dengan bisnis "start-up" (pemula) namun menjadi bermasalah apabila menggunakan angkutan pribadi untuk angkutan umum yang tidak berizin dan tidak memenuhi ketentuan hukum.
"Apapun namanya, pengoperasian sejenis, Go-Jek, Go-Box, Grab Bike, Grab Car, Blue Jek, Lady-Jek, dilarang," katanya.
(stu)