Jakarta, CNN Indonesia -- Orang-orang yang menolak pengungsi Suriah adalah “sekutu terbaik” ISIS dan ekstremis lainnya, menurut kepala badan pengungsi PBB.
Pernyataan yang dikeluarkan oleh Antonio Guterres, kepala UNHCR, pada Senin (21/12) ini merespons kembali usulan kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, untuk melarang Muslim masuk AS.
Akibat konflik selama lebih dari empat tahun, lebih dari 4,3 juta warga Suriah melarikan diri, dan Guterres mengatakan mereka tak bisa disalahkan karena ingin menyelamatkan diri mereka, bahkan dengan risiko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Mereka yang menolak pengungsi Suriah, dan terutama jika mereka Muslim, adalah sekutu terbaik propaganda dan rekrutmen kelompok ekstremis,” ujar Guterres. Tak hanya Trump, pernyataan ini sekaligus menyindir beberapa pejabat di AS dan Eropa yang tak ingin pengungsi masuk negara mereka.
Sebelumnya pada Sabtu, kandidat presiden AS dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, mengatakan bahwa ISIS menggunakan retorika Trump untuk mengajak orang bergabung dengan jihad radikal mereka. Trump membantah klaim itu dan menyebut Clinton “pembohong.”
Teror Paris pada 13 November yang menewaskan 130 orang—yang diklaim oleh ISIS—dan serangan mematikan di San Bernardino, California, pada 2 Desember yang menewaskan 14 orang—juga diklaim ISIS dilakukan oleh simpatisannya—makin menguatkan argumen para politisi yang menolak pengungsi.
“Kita tak boleh melupakan bahwa, di samping retorika yang kita dengar belakangan—pengungsi adalah korban pertama dari teror, bukan sumbernya,” ujar Guterres. “Mereka tak bisa disalahkan atas ancaman yang membuat mereka merisikokan hidup mereka demi melarikan diri.”
“Ya, tentu saja ada kemungkinan bahwa teroris bisa meginfiltrasi pergerakan pengungsi, Namun kemungkinan ini ada di setiap komunitas—dan radikalisasi di rumah sejauh ini merupakan ancaman terbesar, semua insiden menunjukkan itu,” tambah Guterres.
Ia mengatakan menurut survei PBB terhadap 1.200 warga Suriah yang melarikan diri ke Eropa, 86 persen di antaranya berpendidikan, hampir setengahnya mengecap pendidikan di universitas.
(stu)