Jakarta, CNN Indonesia -- Setidaknya 18 orang tewas dalam baku hantam di kompleks Perserikatan Bangsa-Bangsa di Sudan Selatan pada Kamis (18/2).
Seperti diberitakan
CNN, perkelahian ini sebenarnya terjadi pada Rabu (17/2) malam dan berlanjut hingga keesokan harinya.
Menurut seorang petugas di situs perlindungan warga sipil PBB di Kota Malakal, perkelahian tersebut juga menewaskan dua staf Dokter Lintas Batas dan melukai puluhan lainnya.
Perkelahian terjadi antara kelompok etnis Shilluk dan Dinka menggunakan pistol kecil, parang, dan senjata lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepolisian PBB akhirnya menyemprotkan gas air mata untuk memecah massa. Pejabat PBB melansir foto yang menunjukkan asap yang mengepul di langit kompleks tersebut.
Situs tersebut merupakan satu dari enam basis penampungan PBB yang menjadi rumah bagi 200 ribu korban kekerasan di Sudan Selatan. Malakal sendiri menampung 47 ribu orang.
Kebanyakan warga di Malakal datang dari daerah-daerah yang sudah tak mendapatkan bantuan hingga berbulan-bulan. Mereka biasanya datang dengan tangan hampa.
Menurut koordinator proyek Dokter Lintas Batas di Sudan Selatan, Marcus Bachmann, situs ini seharusnya menjadi tempat bagi orang untuk berlindung. "Ini seharusnya menjadi suaka yang dihargai oleh semua pihak," ucap Bachmann.
Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, mengatakan bahwa serangan langsung terhadap warga sipil, tempat dan pasukan penjaga perdamaian PBB dapat dianggap sebagai kejahatan perang.
"Ia mengingatkan semua pihak untuk tak memicu perang etnis dan meminta mereka untuk menghindari semua tindakan atau pernyataan yang dapat meningkatkan situasi," ujar juru bicara Ban dalam sebuah pernyataan.
Melalui pernyataan tersebut, Ban juga mendesak para pemimpin Sudan Selatan mengimplementasikan kesepakatan damai untuk menghentikan perkelahian.
Awal pekan ini, Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir Mayardit, menerima rivalnya, Riek Machar, sebagai wakilnya sebagai bagian dari kesepakatan untuk mengakhiri perang sipil di negaranya yang sudah berlangsung selama dua tahun.
Hingga kini, Sudan Selatan dianggap sebagai salah satu negara dengan konflik paling brutal sejak Desember 2013.
(ama)