Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok Lintas Partai Parlemen Inggris (APPG) diusulkan untuk menerapkan hukum baru yang dapat menjerat pria Inggris pengguna jasa prostitusi ketika melancong ke luar negeri.
Usulan tersebut dilampirkan dalam laporan bertajuk Sex Buyer Law yang dibuat oleh kelompok kampanye End Demand. Dalam laporan tersebut juga terdapat usulan agar pembayaran untuk prostitusi di Inggris seharusnya dianggap sebagai tindakan kriminal. Perdebatan soal pelarangan menyewa seks di dalam negeri sebenarnya sudah dimulai di Inggris sejak tahun lalu. Irlandia Utara sendiri sudah menetapkan pelarangan membayar untuk seks sejak Juni 2015, menyusul Swedia dan Norwegia yang sudah menetapkan aturan serupa.
Hingga kini, APPG belum merespons secara formal laporan tersebut. Namun, gagasan itu sudah didukung oleh Ketua APPG, Gavin Shuker, anggota parlemen Partai Buruh untuk Luton South.
"Saya pribadi berpikir bahwa gagasan tersebut pantas untuk satu alasan sederhana. Banyak pengalaman pertama orang membeli seks dialami di luar negeri," ujar Shuker seperti dikutip
The Independent, Senin (22/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian British Medical Journal pada 2014 menunjukkan bahwa 11 persen pria Inggris berusia 16-74 tahun pernah membayar untuk seks. Sekitar 63 persen dari mereka dilaporkan membayar untuk seks di luar Inggris, terutama di Eropa.
Salah satu penulis laporan Sex Buyer Law, Diane Martin, juga pernah menjadi pekerja seks komersial (PSK). Martin mengatakan bahwa menurut laporan lain, pria lebih suka membayar untuk seks di negara yang hukum dan kebudayaannya memudahkan pembelian tersebut.
"Orang yang sedang mengadakan pesta bujang datang ke Amsterdam dan pria tersebut ditawarkan 'kesepakatan makan siang' di rumah bordil besar di Jerman dengan pesan bahwa membayar untuk seks adalah hal normal," tutur Martin.
Membayar untuk seks memang kini legal di Inggris. Hukum di Inggris lebih menyasar pada pekerja seks. Aspek prostitusi yang dianggap ilegal di antaranya adalah menawarkan seks secara langsung atau menunggu di trotoar.
Sementara itu, negara Eropa lain mulai menerapkan hukum ketat atas prostitusi. Pada 2008, Norwegia meloloskan hukum yang melarang pembelian seks baik di dalam negeri dan mancanegara. Pembelian seks juga sudah dianggap ilegal di Swedia sejak 1999 meskipun hukumnya tak menjerat warga di luar negeri.
APPG sebenarnya sudah meminta parlemen untuk mengadopsi hukum yang diterapkan Norwegia dan Swedia sejak 2014, ketika mereka melansir laporan mengenai kekerasan terhadap perempuan di industri seks.
Para anggota parlemen lantas meminta End Demand sebagai pelaku kampanye anti-eksploitasi seksual untuk menyelidiki kasus ini lebih lanjut.
Hasil penyelidikan tersebut dirangkum dalam laporan Sex Buyer Law yang dibuat oleh komisi independen, termasuk Diane Martin dan seorang mantan pengawas detektif.
Laporan tersebut yang akan diluncurkan di Parlemen pada Selasa esok ini menarik kesimpulan bahwa model hukum seperti di Norwegia dan Swedia sangat dibutuhkan.
Usulan ini akan dikaji ulang. Sementara itu, hasil jajak pendapat terpisah oleh Komite Dalam Negeri menunjukkan bahwa sembilan dari 10 pekerja prostitusi menentang kriminalisasi atas pembelian seks. Delapan dari 10 pekerja seks khawatir pelarangan tersebut akan berdampak pada keselamatan mereka.
Pada 2013-2014, data menunjukkan bahwa lebih banyak kasus hukum untuk menawarkan seks ketimbang mencari layanan prostitusi. Martin mengatakan bahwa para pelaku prostitusi semakin sulit meninggalkan industri seks ketika mereka sudah pernah memiliki catatan kriminal.
"Orang ingin keluar bukan hanya karena dampak psikologis dan stigma yang melekat, tapi juga takut akan tuntutan hukum karena menawarkan jasa yang akan melekat pada mereka. Mereka biasanya memiliki pengalaman dianiaya. Mereka dikriminalisasi sementara orang yang mengeksploitasi mereka melenggang bebas," tutur Martin.
(stu/stu)