Jakarta, CNN Indonesia -- Di Perancis, lebih banyak gadis ketimbang remaja laki-laki yang tertarik untuk hijrah ke Irak dan Suriah demi bergabung dengan ISIS.
"Di antara anak muda, perempuan lebih besar dengan proporsi 55 persen," ujar seorang pejabat Perancis yang enggan diungkap identitasnya kepada
AFP pekan ini.
Menurut sumber ini, angka tersebut sudah termasuk mereka yang hanya ingin atau memang sudah benar-benar pergi ke medan perang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seorang sosiolog, Farhad Khosrokhavar, mengatakan bahwa para gadis ini tak hanya tertarik menjadi pengantin ISIS. Mereka sangat tertarik dengan kekerasan yang dilakukan para pria ISIS.
"Sebelumnya, kekerasan selalu menjadi fenomena pria, tapi generasi ini memiliki pandangan berbeda. Saya melakukan wawancara dan banyak dari mereka yang mengatakan, 'Saya ingin menjadi seperti Kouachi.'"
Kouachi bersaudara merupakan dalang di balik serangan yang menewaskan 12 orang di kantor majalah satire
Charlie Hebdo pada Januari tahun lalu.
"Mereka tidak ingin menjadi istrinya atau kekasihnya. Impian mereka adalah ingin menjadi seperti Kouachi," ucap Khosrokhavar.
Namun menurut Khosrokhavar, ada alasan seksual juga yang membuat para gadis ini tertarik. Pada masa remajanya, gadis-gadis ini merasa jengah dengan ketidakdewasaan laki-laki sepantarannya.
"Ada pandangan baru mengenai kepahlawanan dan kejantanan. Para ekstremis muda menjadi sosok maskulin yang ideal bagi para remaja ini. Ini merupakan anti-feminis pasca post-feminis, yaitu mereka menginginkan pria dengan kemaskulinan tradisional," tutur Khosrokhavar.
Sementara itu, seorang pengamat Inggris dan pengarang buku "Till Martyrdom do us Part", Erin Marie Saltman, mengatakan bahwa kebanyakan gadis yang akhirnya mau bergabung dengan ISIS juga tertarik dengan argumen kemanusiaan dari para perekrutnya.
"Salah jika mengatakan bahwa para perempuan ini hanya menjadi pengantin jihadi. Alasan mereka mau pergi sebenarnya lebih beragam," kata Saltman.
Menurut Saltman, banyak gadis benar-benar meyakini bahwa populasi Muslim kini sering kali dihakimi. Mereka menganggap diri sendiri sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan keamanan dan masa depan bagi Muslim di seluruh pelosok dunia.
"Ini hampir seperti sub-kebudayaan. Ini seperti punk rock, menentang sistem untuk bergabung dengan gerakan menyimpang ini," ucap Saltman.
Para gadis ini, lanjut Saltman, menganggap ISIS merupakan gerakan sosial bawah tanah.
"Jadi, meskipun kita melihatnya sebagai gerakan konservatif, chauvinis, dan menekan, ini diinterpretasikan oleh orang yang terlibat sebagai semacam gerakan sosial bawah tanah. Itu sangat berpengaruh terhadap remaja," katanya.
Saltman sendiri memperkirakan bahwa dari 4.000 militan Barat ISIS, 550 di antaranya adalah perempuan.
(stu/stu)