Konstitusi Belum Berubah, Turki Geser ke Sistem Presidensial?

Hanna Azarya Samosir/Reuters | CNN Indonesia
Selasa, 24 Mei 2016 17:34 WIB
Dengan diangkatnya sekutu Erdogan menjadi Perdana Menteri dan Ketua AKP, Turki dianggap sebenarnya sudah bergeser ke sistem presidensial secara de facto.
Dengan menempatkan Yildirim yang merupakan sekutu dekatnya sejak dua dekade lalu di posisi perdana menteri dan ketua AKP, Erdogan diperkirakan bakal mendapatkan dukungan penuh dari partai besar itu. (Kayhan Ozer/Presidential Palace/Handout via Reuters)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika Perdana Menteri Turki yang baru, Binali Yildirim, mulai menyusun kabinetnya, peran dari pemerintahannya diragukan. Pasalnya, Yildrim sudah mendeklarasikan tekadnya untuk mengubah sistem pemerintahan di Turki menjadi presidensial sehingga Recep Tayyip Erdogan memegang kuasa penuh.

Beberapa analis pun memperkirakan bahwa jajaran kabinet Yildirim yang bakal diumumkan pada Selasa (24/5) waktu setempat akan diisi oleh para loyalis Erdogan.

"Kami sudah memasuki periode sistem presidensial de facto, di mana kebijakan Erdogan akan diterapkan sangat jelas. Akan ada harmoni sangat kuat antara kabinet dan Erdogan. Keputusan Erdogan akan diterapkan tanpa tersentuh," ujar seorang pejabat anonim kepada Reuters.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama ini, Turki menganut sistem pemerintahan republik demokrasi sekuler parlementer representatif, di mana perdana menteri memegang kuasa atas pemerintahan, sedangkan presiden hanya mengemban peran seremonial.

Erdogan dan pendukungnya sejak lama mencari cara untuk mengubah sistem pemerintahan menjadi presidensial seperti di Amerika Serikat atau Perancis guna mencegah adanya fraksi-fraksi dalam politik Turki.

Namun, lawan politik Erdogan dan beberapa sekutu Barat yang skeptis khawatir sistem politik semacam itu akan menciptakan kepemimpinan otoriter jika diterapkan di Turki.

Selama menjadi presiden saja, penyelidik sudah mengungkap 1.800 kasus mengenai pelecehan terhadap Erdogan. Media-media oposisi dan jurnalis serta akademisi pengkritik Erdogan juga dibungkam.

Ahmet Davutoglu bahkan mundur dari kursi perdana menteri dan ketua partai berkuasa, AKP, karena disinyalir tak mendukung perubahan sistem pemerintahan menjadi presidensial.

Untuk mengubah sistem pemerintahan, harus ada perubahan konstitusional melalui referendum. Sebuah referendum dapat dilaksanakan jika sudah mendapat persetujuan dari setidaknya 330 anggota parlemen.

Dengan menempatkan Yildirim yang merupakan sekutu dekatnya sejak dua dekade lalu di posisi perdana menteri dan ketua AKP, Erdogan diperkirakan bakal mendapatkan dukungan penuh dari partai besar itu.

Pendapat publik mengenai perubahan ini belum diketahui, tapi jajak pendapat oleh IPSOS saat ini menunjukkan dukungan sebesar 36 persen. Sementara itu, jajak pendapat dari media pro-pemerintah, Daily Sabah, menunjukkan dukungan hingga 58 persen.

"Kekuasaan satu orang secara de facto sudah dimulai, walaupun belum secara konstitusi," ucap direktur perusahaan riset Metropoll, Ozer Sencar.

Di samping semuanya, para investor sebenarnya lebih menaruh perhatian pada posisi Wakil Perdana Menteri yang saat ini dipegang oleh Mehmet Simsek. Ia dianggap sebagai tokoh yang dapat menjaga stabilitas perekonomian di Turki.

Seorang pejabat dalam AKP yang dekat dengan Erdogan pun mengatakan bahwa sangat penting bagi pemerintahan untuk menempatkan orang-orang tepat di pos perekonomian di tengah gejolak seperti sekarang. Namun, itu semua merupakan keputusan presiden. (ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER