Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang warga negara Indonesia yang tengah mengenyam pendidikan pascasarjana di Inggris menyatakan bahwa serangan bermotif rasisme muncul di sekitar tempat tinggalnya usai referendum Uni Eropa pekan lalu yang menunjukkan sebagian besar warga Inggris ingin hengkang dari Uni Eropa, atau biasa disebut Brexit.
Teuku Renaldi, mahasiswa Indonesia jurusan penelitian kesehatan di University of Leicester, memaparkan ia dan rekan mahasiswa lainnya mengalami sendiri serangan bermotif rasisme, yakni melalui aksi vandalisme. Spanduk yang ia dan teman-temannya pasang di sekitar tempat tinggal mereka di Leicester untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri dicoret-coret oleh oknum tidak dikenal.
"Kebetulan saat ini saya terlibat sebagai panitia penyelenggaran Idul Fitri di Leicster. Ada beberapa spanduk kami untuk menyambut Idul Fitri dan pemberitahuan salat Ied yang kami pasang di sejumlah taman dicoret-coret," kata Teuku kepada
CNN Indonesia.com ketika dihubungi pada Senin (4/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teuku mengaku, menurut pengetahuannya, kejadian semacam ini belum pernah terjadi di Leicester. Selain vandalisme, serangan bermotif rasisme yang ia rasakan usai kampanye Brexit memenangi referendum UE adalah ia dan rekan-rekannya kerap diteriaki sambil lalu oleh sejumlah orang yang tak dikenal.
Meski begitu, Teuku mengaku tidak begitu ambil pusing atas munculnya sentimen rasisme di lingkungan tempat tinggalnya. "Kami hanya tahu [spanduk itu] dicoreti. Oke, ini merupakan sesuatu yang baru, tapi itu tidak akan berpengaruh apapun terhadap kami di sini," ujarnya.
Sebaliknya, ia mencermati bahwa seiring munculnya sentimen rasisme, iklim solidaritas di Leicester juga meningkat. Pasalnya, ketika mengetahui spanduk mereka dicoreti, dinas pertamanan dan universitas segera berinisiatif mencopot spanduk untuk meredam sentimen rasisme meluas dan berkordinasi dengan panitia penyelenggaraan Idul Fitri.
"Satu hal positif yang kita catat, mereka berkordinasi dengan kami. Bahkan, ada organisai lain yang menawarkan apakah spanduk kami mau diganti atau langkah lainnya," ujar Teuku.
Ketika dihubungi, Teuku mengaku menyadari adanya berbagai
laporan media soal serangan rasisme di sejumlah wilayah di Inggris usai Brexit, meski ia sendiri belum pernah menemukan laporan soal serangan rasisme di Leicester.
 Bergabung dengan panitia penyelenggaraan perayaan Idul Fitri di Leicester, Teuku dan rekannya berencana menggelar salat Ied bersama di Victoria Park, salah satu taman terbesar di Leicester. (Dok. Istimewa) |
Teuku memaparkan bahwa Leicester merupakan salah satu wilayah ikon multikulturalisme di Inggris. Berdasarkan data dari Perhimpunan Pelajar Indonesia cabang Leicester, terdapat sekitar 30 hingga 40 pelajar Indonesia di wilayah itu. Selain pelajar, terdapat juga sejumlah WNI yang mendampingi pelajar maupun yang sudah menetap di wilayah ini dan tergabung dalam Masyarakat Indonesia di Leicester.
Jumlah umat Muslim yang bukan keturunan Inggris di Leicester pun terhitung besar, sekitar 40 persen dari total populasi di kota ini. Teuku menyebutkan terdapat sekitar 37 masjid di Leicester.
Bergabung dengan panitia penyelenggaraan perayaan Idul Fitri di Leicester, Teuku dan rekannya berencana menggelar salat Ied bersama di Victoria Park, salah satu taman terbesar di Leicester, yang diperkirakan akan dihadiri oleh belasan ribu jemaah.
Teuku berharap salat Ied akan berjalan lancar dan tidak dibatalkan
seperti yang terjadi di wilayah Southampton karena adanya ancaman keamanan.
Dampak BrexitMenurut laporan berbagai media Inggris, Brexit memengaruhi sektor ekonomi dan iklim politik di negara itu. Perdana Menteri David Cameron memutuskan mundur dalam tiga bulan ke depan, sementara ketidakstabilan pasar mulai terjadi.
Namun menurut Teuku, di kalangan masyarakat Leicester sendiri dampak Brexit tidak terlalu jelas terlihat. "Seperti tak terjadi apa-apa. Semua berjalan dengan biasa saja," katanya.
Usai Brexit, Teuku dan rekannya menerima pengumuman langsung dari presiden universitas yang menyatakan bahwa tidak akan ada perubahan kebijakan kampus dalam waktu dekat untuk semua mahasiswa, baik untuk mahasiswa Inggris maupun tidak, terkait dengan Brexit.
Meski mengalami serangan vandalisme, Teuku dan rekan-rekannya merasa aman tinggal di Leicester. Pasalnya, kejahatan terhadap kebencian merupakan salah satu tindak kejahatan yang menjadi fokus utama kepolisian setempat.
"Ketika kami baru tiba [di Leicester], ada penyambutan yang salah satunya dari Kepala Kepolisian Leicester sendiri. Ia menyatakan bahwa salah satu tindak kriminal yang akan mereka tanggapi dengan serius adalah hate crime, jadi kita tenang," ujarnya.
Teuku memaparkan bahwa warga yang merasa menerima diskriminasi rasial dapat segera melaporkannya dengan menelepon langsung ke pihak kepolisian. Selain itu, terdapat beberapa situs khusus di Inggris untuk pelaporan serangan bermotif rasisme.
(ama)