Jakarta, CNN Indonesia -- Tony Blair, mantan perdana menteri yang memutuskan Inggris terlibat perang Irak pada 2003, membela diri terhadap laporan Chilcot.
Laporan Chilcot adalah hasil penyelidikan independen terhadap keputusan pemerintah Inggris mendukung invasi Amerika Serikat di Irak. Penyelidikan independen itu dimulai pada 2009 lalu di bawah pemerintahan Gordon Brown, dan dipimpinn John Cilcot, mantan pejabat istana Whitehall.
Menurut hasil penyelidikan itu, campur tangan Inggris dalam invasi didasarkan informasi intelijen yang salah soal kepemilikan Irak terhadap senjata pemusnah massal (WMD/
Weapon of Mass Destruction).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rakyat Inggris pun menuding Blair terlalu membesar-besarkan laporan intelijen itu dan dijadikan alasan untuk terlibat dalam perang Irak.
Laporan itu juga mengkritik keputusan invasi --serangan pertama Inggris pada negara berdaulat sejak perang dunia kedua -- karena Inggris sebenarnya masih memiliki opsi lewat perundingan damai.
Laporan Chilcot juga menguak fakta bahwa Blair sempat mengirimkan memo-memo dukungan kepada Presiden AS kala itu, George Bush, dan mengatakan bahwa Inggris siap mendukung, apapun kondisinya.
Menanggapi hujan kritikan dari banyak pihak, Blair menggelar konferensi pers selama 109 menit pada Rabu (6/7). Di sana, Blair sangat emosional dan marah dengan pencitraan keputusannya tersebut selama ini.
"Jika kalian tidak setuju dengan saya, tidak apa-apa, tapi tolong berhenti menuding saya berbohong atau memiliki motif terselubung," ujar Blair seperti dikutip
Reuters.
Melanjutkan amarahnya, Blair kembali berkata, "'Anda berbohong mengenai data intelijen itu,' Itu yang selalu dikatakan orang. Sebenarnya, jika orang-orang ingin adil dan membaca keseluruhan laporannya, tuduhan itu seharusnya tidak ada, karena itu tidak benar."
 Tony Blair ketika mengunjungi pasukan Inggris yang dikirim ke Irak. (REUTERS/POOL/Stefan Rousseau) |
Dalam pernyataan resminya, Blair menjabarkan panjang lebar mengenai kritikan terhadapnya. Ia pun mengaku bertanggung jawab penuh atas keputusan tersebut.
Blair mengaku berduka dan gagal menyusun rencana memadai untuk mencegah akibat lanjutan invasi tersebut.
"Saya secara tulus dan mendalam...merasakan duka dan rasa kehilangan dari mereka-mereka yang kehilangan orang yang dicintai di Irak. Tidak ada satu hari pun ketika saya tidak memikirkan yang terjadi di sana," kata Blair.
Invasi Amerika Serikat itu berhasil menggulingkan Saddam Hussein, tapi hingga kini Irak masih dilanda konflik. Peperangan terus terjadi, termasuk konflik sektarian yang memakan banyak korban jiwa. Berbagai kelompok militan pun muncul, salah satunya Al Qaidah dan belakangan adalah ISIS.
Laporan Chilcot menyatakan lebih dari 150 ribu orang tewas akibat invasi itu dengan mayoritas di antaranya penduduk sipil, dan lebih dari satu juta penduduk Irak kehilangan rumah. Lebih dari 4.000 tentara AS, dan 179 militer Inggris juga terbunuh dalam operasi di Irak.
Namun, Blair menyanggah salah satu temuan penting dalam laporan tersebut, yaitu ada pilihan diplomasi lain sebelum mengerahkan kekuatan militer.
Menurut Blair, saat itu ia menghadapi keputusan "biner" yang tidak dapat ditunda. Ia pun mengatakan kepada awak media bahwa jika dihadapkan pada data yang ia lihat pada waktu itu, sekarang pun Blair akan mengambil keputusan sama.
"Apa yang saya coba lakukan hari ini adalah menjelaskan mengapa saya bertindak seperti itu. Pada akhirnya, apa lagi yang dapat saya katakan selain 'Inilah alasan saya mengambil keputusan ini?'" kata Blair.
(stu)