Jakarta, CNN Indonesia -- Rezim Suriah menuding bahwa seragan gas kimia yang menewaskan ratusan warga sipil didalangi oleh sejumlah badan intelijen Perancis. Tudingan ini diduga sebagai salah satu upaya pemerintahan Presiden Bashar al-Assad untuk menampik tuduhan bahwa pihaknya telah melakukan kejahatan perang.
Informasi ini diungkapkan oleh perwakilan tetap Suriah untuk PBB, Dr Bashar al-Jaafari, dalam pembahasan perang sipil Suriah pada pertemuan Dewan Keamanan PBB, Senin (22/8), sembari mengecam sejumlah negara anggota koalisi serangan udara pimpinan Amerika Serikat.
Serangan gas kimia terungkap ketika inspeksi PBB menemukan sejumlah roket yang berisi penuh gas sarin ditembakkan ke Ghouta, wilayah di pinggiran Damaskus yang dikuasai pemberontak pada 21 Agustus 2013 silam. Inspektur PBB menyebut aksi pembantaian yang menewaskan ratusan orang itu sebagai "serangan senjata kimia terhadap warga sipil terbesar sejak Saddam Hussein menggunakannya dalam serangan di Halabja pada 1988 silam."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pertemuan DK PBB, Jaafari menekankan bahwa serangan keji tersebut merupakan bagian dari upaya agar Inspektur Senjata PBB, Dr Ake Sellstrom, tidak mengunjungi Aleppo yang saat itu digempur serangan gas kimia lain, diduga oleh kelompok pemberontak.
"Penggunaan senjata kimia di area Damaskus bertujuan untuk mencegah Dr Ake Sellstrom mengunjungi Aleppo karena Perancis mengetahui siapa yang menggunakan senjata kimia di Aleppo," ujar Jaafari, dikutip dari
The Independent.
"Mereka ingin mencegah Dr Sellstrom mencapai Aleppo dengan berbagai cara, dan sehingga mereka menggunakan senjata kimia di Damaskus dengan keterlibatan dari intelijen Perancis," katanya.
Perwakilan Perancis untuk DK PBB, Francois Delattre, menyebut tudingan Suriah itu "tidak masuk akal."
"Saya tidak akan menyebutkan kembali semua tuduhan aneh dan tak masuk akal yang dilontarkan perwakilan dari Suriah," katanya sembari menekankan pentingnya gencatan senjata saat ini di Suriah agar bantuan kemanusiaan dapat mencapai sejumlah daerah yang terkepung pertempuran.
Serangan gas kimia di Ghouta saat itu dikecam publik dunia dan memantik aksi sejumlah negara untuk melawan rezim Assad. Sepekan setelah serangan terjadi, Majelis Rendah Inggris bahkan menggelar pemungutan suara untuk menentukan apakah Inggris akan bergabung dengan beberapa negara lain untuk menyerang Suriah saat itu.
Sejumlah rekaman video memperlihatkan sejumlah warga Suriah, baik pria, wanita, maupun anak-anak, muntah-muntah dan mengeluarkan busa dari mulutnya akibat serangan itu. Sejumlah jasad terlihat bergelimpangan di lantai klinik dan masjid.
Hingga saat ini belum ada konfirmasi resmi soal jumlah korban tewas atas serangan tersebut. Lembaga amal Dokter Lintas Batas (MSF) menyatakan bahwa dari laporan 3.600 gejala pasien terpapar gas beracun, setidaknya 355 orang tewas. Sementara itu, kelompok pemantau perang Suriah, Syrian Observatory for Human Rights menyebutkan jumlah korban tewas diperkirakan 500 orang. Kelompok oposisi menyebut sekitar 1.300 korban tewas.
Pemerintah Suriah selalu menolak bertanggung jawab atas sejumlah serangan senjata kimia, termasuk gas klorin beracun. Suriah selalu menuding kelompok oposisi maupun militan ISIS berada di balik serangan itu.
Di depan PBB, Jafaari juga membantah tudingan bahwa pasukan Suriah bertanggung jawab atas serangan udara di Aleppo yang melukai Omran Daqneesh, bocah berusia 5 tahun yang terlihat berlumuran darah dan debu ketika berhasil diselamatkan dari reruntuhan bangunan yang hancur pekan lalu. Kakak Omran, Ali Daqneesh, 10, tewas dalam serangan itu.
"Tidak ada yang lebih peduli dengan nyawa warga sipil, atau lebih merasakan kesakitan mereka, dibanding kami," kata Jaafari.
(ama/stu)