Jakarta, CNN Indonesia -- Dua orang ibu dan anak di Singapura divonis penjara karena menyiksa seorang wanita asal Indonesia yang bekerja di rumah mereka. Akibat siksaan itu, wanita tersebut mengalami cacat pada telinganya.
Seperti dikutip dari
The Strait Times, Sabtu (23/9) ibu rumah tangga Anpalaki Muniandy Marimuthu, 65, dikenakan empat dakwaan karena menyiksa Sriyatun, 27, dan divonis 16 bulan penjara. Sementara putrinya, Jayasheela Jayaraman, 43, yang bekerja sebagai pengawas gudang, bersalah atas tiga dakwaan dan divonis 12 bulan penjara. Mereka juga harus membayar kompensasi sebesar S$840 atau sekitar Rp8 juta.
Laporan pengadilan menyebutkan, Sriyatun mengalami berbagai jenis siksaan. Hakim pengadilan Jasvender Kaur mengatakan bahwa telinga ibu satu anak ini cacat dan berbentuk seperti "kembang kol" karena sering ditampar setiap kali melakukan kesalahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peristiwa ini terjadi sejak tahun 2012 saat Sriyatun tidak membawakan sepatu majikannya di rumah mereka di Bendemeer Road. Jayasheela menampar kepala Sriyatun berkali-kali sehingga telinganya sakit. Malamnya, dia kembali menampar Sriyatun saat wanita itu tengah memijit telinganya yang kesakitan.
Menurut Sriyatun di pengadilan, kedua ibu anak itu terus menjewer telinganya yang membengkak setiap kali hendak pulih. Akibatnya kini telinga itu mati rasa dan berubah bentuk.
Satu kali di tahun 2013, Jayasheela menarik payudara Sriyatun dan melukainya karena dianggap lambat bekerja.
Pada 24 Oktober tahun itu, sehari sebelum Sriyatun memutuskan kabur, Jayasheela menariknya ke kamar dan bertanya mengapa dia mengganggu putranya yang berusia tujuh tahun. Jayasheela kemudian menarik ujung bibir Sriyatun dan memukuli kepalanya. Serangan ini membuat mulutnya berdarah.
Pengadilan menyebut Anpalaki juga melukai Sriyatun beberapa kali dengan benda-benda rumah tangga. Pada November 2012, wanita tua itu memukul kaki Sriyatun dengan benda tajam karena tidak membawa sepatu putranya ketika mereka sembahyang. Akibat serangan itu kaki Sriyatun berdarah.
Anpalaki juga memukuli Sriyatun dengan bagian belakang pisau dan menggiling tangannya dengan penggiling adonan.
Saat polisi menyambangi rumah wanita ini pada 25 Oktober 2013, Sriyatun terlihat mengenakan masker wajah dan penutup kepala. Kepada polisi Sriyatun mengaku dipaksa memakai penutup wajah setiap kali habis dipukuli untuk menutupi memar.
Jaksa penuntut James Chew mengatakan siksaan itu membuat jiwa Sriyatun tertekan dan hampir saja mencoba bunuh diri.
Hukuman maksimal atas penyiksaan terhadap pekerja domestik di Singapura adalah tiga tahun penjara dan kompensasi S$7.500.
Kedutaan Besar RI di Singapura mengaku tidak mengetahui kasus Sriyatun karena yang bersangkutan tidak melapor dalam insiden ini. Namun menurut Konsul Perlindungan WNI KBRI Singapura, Didit Parlambang, mengatakan pekan depan mereka akan mencari Sriyatun dan menghubungi pengacara untuk berkonsultasi mengenai vonis ini.
"Menurut saya kompensasi S$800 itu terlalu kecil untuk kasus penyiksaan, apalagi menimbulkan cacat," kata Didit kepada CNN Indonesia.
Didit mengatakan saat ini ada sekitar 150 ribu WNI yang bekerja di sektor domestik di Singapura. Namun hanya sekitar 94 ribu yang terdaftar, sisanya tidak tercatat di KBRI.
(den)