Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Perdana Menteri Norwegia, Kjell Magne Bondevik sempat tertahan di Bandara Internasional Dulles, Washington DC saat hendak memasuki Amerika Serikat, akhir Januari lalu.
Bondevik ditahan pihak imigrasi bandara lantaran memiliki visa Iran, salah satu dari tujuh negara Muslim dalam daftar negara berisiko tinggi terorisme versi Presiden Donald Trump dan diincar dalam perintah eksekutifnya yang melarang sementara imigrasi dari negara-negara tersebut.
Padahal dirinya merupakan pemimpin salah organisasi HAM besar dan memiliki paspor diplomatik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika mereka [petugas imigrasi] menemukan visa Iran, di mana saya memang pernah ke sana pada Desember 2014 lalu, mereka menyatakan bahwa ada sejumlah aturan bagi penumpang yang memiliki visa seperti saya harus diperiksa," ungkap Bondevik kepada
CNN pada Selasa (7/2).
Bondevik mengaku tertahan di bandara dan diperiksa pihak imigrasi sekitar satu jam. Dia tertahan bersama dengan sejumlah warga negara Timur Tengah dan Afrika yang ikut tertahan dan harus melakukan pemeriksaan tambahan.
Bondevik berhasil melewati pemeriksaan imigrasi usai menceritakan rekam jejak perjalanannya. Ia menjelaskan perjalanannya ke Teheran sekitar dua tahun lalu adalah untuk menghadiri konferensi anti-ekstremisme.
"Saya menduga petugas imigrasi melepaskan saya setelah menceritakan rekam jejak perjalanan saya pada mereka," tuturnya.
Meski dirinya berhasil keluar dari bandara, Bondevik mengaku larangan perjalanan yang ditandatangani Trump dan pengalamannya tertahan di bandara AS telah membangkitkan pandangan kemanusiannya.
Mantan pemimpin Eropa ini mengaku sangat tidak setuju dengan larangan Trump yang dia anggap bertentangan dengan pandangannya terkait "martabat manusia."
"Saya tidak suka dia memperlakukan dan menyimpulkan orang-orang dari beberapa negara Muslim itu sebagai 'kelompok', bukan individu," kata Bondevik.
"Apakah mereka benar-benar percaya bahwa saya membuat masalah besar atau menimbulkan ancaman terhadap AS? Saya harap AS bisa menunjukkan sikap lebih bijaksana dan fleksibel," ujarnya menambahkan.
Menurutnya, pengalaman ini membuat ia tersadar bahwa aturan tersebut sebenarnya menggambarkan isu atau permasalahan jauh lebih luas yang ingin diangkat Trump.
 Perintah eksekutif Donald Trump tunda sementara imigrasi dari tujuh negara Muslim. (AFP PHOTO / NICHOLAS KAMM) |
"Saya juga tidak suka terhadap pendekatan dan perlakukan Trump pada pemimpin negara lain seperti kepada Perdana Menteri Australia dan Presiden Meksiko. Saya tidak suka sikap Trump dalam komunitas internasional," tutur pemimpin Oslo Center tersebut.
Pada akhir Januari lalu Trump menandatangani perintah eksekutif yang berisikan larangan warga dari tujuh negara Muslim seperti Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman untuk masuk sementara ke wilayah Amerika.
Larangan perjalanan ini juga menangguhkan program penerimaan pengungsi yang selama ini dimiliki AS untuk sementara waktu hingga empat bulan ke depan.
Jumat pekan lalu, hakim federal AS menangguhkan perintah tersebut. Trump pun berkeras mengajukan banding mengenai aturan ini ke pengadilan banding.
Jika terjadi ancaman keamanan akibat penundaan kebijakan ini, kata Trump, maka hakim tersebut adalah pihak yang mesti disalahkan. Dia meyakini bahwa larangan perjalanan ini bisa mengamankan Negeri Paman Sam dari ancaman terorisme.
(aal)