Jakarta, CNN Indonesia -- Gambar yang menampilkan sesosok perempuan imigran mengenakan hijab bercorak bendera Amerika Serikat tengah ramai digunakan dalam sejumlah aksi protes kepemimpinan Presiden Donald Trump beberapa waktu terakhir ini.
Munira Ahmed, 32, tak menyangka gambar wajahnya yang diambil lebih dari satu dekade lalu itu bisa menjadi simbol gerakan protes anti-Trump menyusul sikap negatif dan langkah kontroversial presiden AS ke-45 itu terhadap kaum imigran di AS, khususnya kaum Muslim.
"Saya merasa [gambar itu] sangat kuat dan simbolis untuk menunjukkan keberadaan kami di sini dan kami tidak menyesal sebagai warga Muslim-Amerika," ungkap wanita keturunan Bangladesh ini.
Di bawah gambar tersebut dituliskan frasa
"We the People" berupaya menekankan bahwa kaum pendatang, tak terkecuali kaum Muslim di negara itu juga merupakan bagian dari warga Amerika sama seperti warga keturunan asli lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepada
Al-Arabiya, Sabtu (28/2), pekerja lepas asal Queens itu menuturkan foto dirinya ini sebenarnya diambil sekitar tahun 2006 oleh seorang juru foto bernama Ridwan Adhami.
Foto itu berlokasi di depan gedung Wall Street New York yang berdekatan dengan lokasi gedung World Trade Center yang pernah berdiri sebelum diruntuhkan oleh kelompok teroris pada 11 September 2001 silam.
Saat itu Adhami mengambil foto Ahmed untuk sebuah cover publikasi Majalah Illume yang bertemakan Muslim-Amerika. Belakangan, foto Ahmed dipilih oleh Amplifier Foundation dan diilustrasikan dalam sebuah gambar grafis oleh Shepard Fairey, seniman grafis yang mempopulerkan foto mantan presiden Barack Obama bertemakan "Hope" yang sempat populer.
Ahmed mengungkapkan, pesan personal yang ingin ia sampaikan dari fotonya tersebut adalah kedudukan warga Muslim di Negeri Paman Sam itu sama dengan warga keturunan asli Amerika.
Warga Muslim juga merupakan bagian dari bangsa Amerika.
"Tidak ada eksklusivitas. Saya merasa warga Amerika juga bisa menerapkan dan memegang nilai-nilai yang ada dalam Islam, karena di AS Anda memiliki kebebasan untuk memegang suatu kepercayaan tanpa takut dikucilkan dan dianiaya," kata Ahmed.
Ahmed merupakan anak tertua dalam keluarga kecilnya. Ia mengaku pernah mengalami diskriminasi bahkan jauh sebelum sentimen xenofobia dan Islamofobia Trump muncul saat kampanye pemilu presiden 2016.
Salah satu bentuk diskriminasi yang kerap ia rasakan adalah ketika berpergian keluar negeri. Ketika hendak kembali ke AS, negara kelahirannya, Ahmed mengaku kerap tertahan dalam pemeriksaan imigrasi di bandara dan menghadapi sejumlah pertanyaan.
"Saya selalu tertahan oleh petugas imigrasi untuk melakukan pemeriksaan kedua, meskipun paspor Amerika saya jelas-jelas bahwa saya lahir di negara ini. Saya merasa ini berhubungan dengan nama saya [yang berbau Islam]," tuturnya. Sementara itu, Adhami, sang juru foto memaparkan bahwa nilai kemanusiaan yang ingin ia angkat dari gambar tersebut adalah untuk mengangkat kebanggaan menjadi seorang Muslim-Amerika.
[Gambas:Video CNN]
Sebab, tak sedikit pandangan negara Barat akan Islam dan kaum Muslim tercoreng usai peristiwa serangan 9/11 terjadi. Sejak serangan teror yang dilakukan kelompok teroris Al-Qaidah itu terjadi, banyak yang melibatkan Islam dengan aktivitas terorisme.
"Muslim dan Amerika tidaklah terpisah. Anda bisa menjadi seorang warga Amerika ataupun seorang Muslim. Anda juga bisa menjadi keduanya dan tetap bangga," kata Adhami.