"Tidak ada eksklusivitas. Saya merasa warga Amerika juga bisa menerapkan dan memegang nilai-nilai yang ada dalam Islam, karena di AS Anda memiliki kebebasan untuk memegang suatu kepercayaan tanpa takut dikucilkan dan dianiaya," kata Ahmed.
Ahmed merupakan anak tertua dalam keluarga kecilnya. Ia mengaku pernah mengalami diskriminasi bahkan jauh sebelum sentimen xenofobia dan Islamofobia Trump muncul saat kampanye pemilu presiden 2016.
Salah satu bentuk diskriminasi yang kerap ia rasakan adalah ketika berpergian keluar negeri. Ketika hendak kembali ke AS, negara kelahirannya, Ahmed mengaku kerap tertahan dalam pemeriksaan imigrasi di bandara dan menghadapi sejumlah pertanyaan.
"Saya selalu tertahan oleh petugas imigrasi untuk melakukan pemeriksaan kedua, meskipun paspor Amerika saya jelas-jelas bahwa saya lahir di negara ini. Saya merasa ini berhubungan dengan nama saya [yang berbau Islam]," tuturnya. Sementara itu, Adhami, sang juru foto memaparkan bahwa nilai kemanusiaan yang ingin ia angkat dari gambar tersebut adalah untuk mengangkat kebanggaan menjadi seorang Muslim-Amerika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, tak sedikit pandangan negara Barat akan Islam dan kaum Muslim tercoreng usai peristiwa serangan 9/11 terjadi. Sejak serangan teror yang dilakukan kelompok teroris Al-Qaidah itu terjadi, banyak yang melibatkan Islam dengan aktivitas terorisme.
"Muslim dan Amerika tidaklah terpisah. Anda bisa menjadi seorang warga Amerika ataupun seorang Muslim. Anda juga bisa menjadi keduanya dan tetap bangga," kata Adhami.
(aal)