Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Australia menyatakan akan mempertimbangkan masukan dari pengamat hukum dan keamanan untuk menghapus peraturan yang memperbolehkan penahanan tanpa batas untuk pelaku kasus terorisme.
Australia terus waspada akan serangan radikal yang berkembang di negaranya sendiri sejak 2014, setelah mengalami sejumlah aksi 'lone wolf' termasuk penyerangan cafe di Sydney yang menewaskan dua sandera dan pelaku bersenjata itu sendiri.
Juli lalu, Perdana Menteri Malcolm Turnbull mengatakan pemerintah akan menahan tersangka terorisme tanpa batas waktu tertentu jika dia dianggap masih bisa mengancam keamanan warganya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Independent National Security Legislation Monitor merekomendasikan kewenangan Organisasi Intelijen Keamanan Australia untuk memeriksa dan menahan orang-orang tersebut "dihapuskan atau dihentikan" ketika masa berlakunya berakhir, September ini.
"Pemerintah secara hati-hati mempertimbangkan rekomendasi laporan tersebut," kata Jaksa Agung George Brandis dalam pernyataan pers yang dikutip Reuters, Rabu (8/2). Namun, dia tidak menjelaskan lebih jauh.
Australia bakal meninjau ulang langkah khusus tersebut 7 September yang akan datang.
Sementara di Indonesia, seorang terduga kasus terorisme bisa diperiksa selama tujuh hari untuk menentukan apakah ada tindakan pidana yang dilakukan.
Jika ditemukan ada dugaan tindak pidana terorisme dilakukan orang tersebut, maka dia bisa ditahan hingga ke masa persidangan.
Namun, peraturan ini akan diubah melalui revisi undang-undang pemberantasan terorisme. Panja revisi UU pemberantasan terorisme menargetkan pembahasan selesai pada Mei 2017.
Berdasarkan catatan, ada 112 DIM yang diserahkan Panja kepada Kemkumham. Di antaranya melibatkan TNI dalam revisi UU Terorisme, penguatan BNPT, masa penahanan terduga teroris, penahanan sementara, hingga jaminan hak-hak korban terorisme.
(aal)