Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang yang mengaku mantan pemimpin Pasukan Penjagal Davao menuduh Presiden Filipina Rodrigo Duterte pernah memerintahkan serangan bom dan pembunuhan seorang wartawan ketika masih menjabat sebagai wali kotanya.
Dalam konferensi pers, Arturo Lascanas, seorang mantan polisi, mengatakan pasukan jagal itu melakukan banyak pembunuhan dan aksi kriminal, baik di bawah perintah Duterte atau orang-orang dekatnya. Sang Presiden sempat menjabat jadi wali kota selama 10 tahun sejak 1988, lalu menjabat lagi pada 2001-2010 dan 2013-2016.
Lascanas mengatakan pasukannya diperintahkan oleh Duterte secara pribadi untuk mengebom sejumlah masjid di Davao pada 1993 lalu, sebagai balasan serangan bom di Katedral San Pedro.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu benar, saya adalah salah seorang yang menerima langsung perintah dari Duterte," ujarnya sebagaimana dikutip
CNN, Senin (20/2).
Lascanas juga mengklaim dirinya adalah salah seorang di antara kelompok yang diperintah Duterte untuk membunuh wartawan Jun Pala.
Setelah Pala melarikan diri dua kali, Lascanas mengatakan dirinya menemui Duterte secara singkat di sebuah mall di Davao. Menurutnya, dia diminta untuk tidak terlalu buru-buru.
"Dia mengatakan pada saya, 'santai saja'." kata Lascanas. "Jun Pala dibunuh. Dua hari setelahnya, kami diberi imbalan oleh Duterte senilai tiga juta peso."
Pala dibunuh pada 2003 silam dan kasusnya masih belum terselesaikan.
Selama menjalankan tugas di Pasukan Jagal, Lascanas mengaku dibayar sekitar 20 ribu hingga 100 ribu peso untuk satu pembunuhan. Dia mengatakan dirinya juga menerima gaji dari Duterte ketika masih menjadi wali kota.
Lascanas juga mengklaim telah membunuh dua saudaranya sendiri karena buta akan kesetiaan terhadap Duterte.
"Dia terlibat dalam peredaran narkotik," ujarnya. "Itu jadi keputusan yang sangat menyakitkan buat saya. Tidak ada orang lain yang tahu selain saya sendiri."
Pengakuan Lascanas ini mendukung sejumlah dugaan yang sebelumnya dicuatkan oleh mantan pembunuh bayaran, Edgar Matobato, pada 2016 lalu. Di antaranya adalah klaim soal tim eksekusi yang terdiri atas 300 orang.
"Saya adalah salah seorang yang memulainya," kata dia. "Kami mengimplementasikan instruksi pribadi Duterte. Semua pembunuhan yang kami lakukan di kota Davao, baik yang jenazahnya kami kubur atau buang ke lautan."
Duterte, melalui seorang juru bicaranya, menyebut tudingan ini "hanya politik jahat."
"Komisi Hak Azasi Manusia, Ombudsman, Komite Kehakiman Senat sudah menepis dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh Duterte dan keterlibatannya dalam Pasukan Jagal Davao," kata juru bicara kepresidenan, Martin Andanar.
Lascanas memberikan kesaksiannya tahun lalu dalam penyelidikan Senat. Kala itu, dia menampik jadi salah seorang anggota Pasukan Jagal dan berhubungan dekat dengan Duterte.
Pengawas Senior Davao yang kini sudah pensiun, Dionisio Abude, dalam kesempatan sama juga mengatakan Pasukan Jagal itu tidak pernah ada.
Namun dalam konferensi pers Senin ini, Lascanans mengatakan dia mengakui hal tersebut dalam rangka "mengikuti keinginan Tuhan dan cinta akan negara dan atas akal sehat saya sendiri."
Acara ini diselenggarakan oleh politikus oposisi, Senator Antonio Trillanes IV.
(aal)