Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden China Xi Jinping akan bertandang ke Amerika Serikat untuk bertemu dengan Presiden Donald Trump untuk pertama kalinya, Kamis waktu AS (6/4).
Kedua pihak diperkirakan akan berbicara soal penguatan hubungan dan stabilisasi hubungan diplomatik penting antara AS dan China, di tengah perbedaan pengalaman, temperamen dan pandangan global masing-masing pemimpin negara.
Trump, pendatang baru di dunia politik yang bersuara lantang dan seolah tidak terlalu peduli tentang detail kebijakannya, kerap menjatuhkan China ketika berkampanye.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia pernah menyebut China "memperkosa" ekonomi AS dan mengatakan pemanasan global adalah tipuan negara tersebut untuk merusak industri Amerika.
Xi, meski lebih halus daripada pendahulunya, Hu Jintao, telah menghabiskan beberapa dekade memimpin Partai Komunis. Dia bicara dengan diksi formal China khas seorang negarawan, di mana kata dan formula linguistik dalam menentukan hubungan diplomatik menjadi hal yang sangat diperhatikan.
Xi Jinping adalah pemimpin China terkuat dalam beberpaa dekade ini, dan tidak segan menunjukkan kekuatan China di Asia.
Namun, di luar semua perbedaan itu, ketika kedua pemimpin negara duduk bersama di kelab mewah Trump di Mar-a-Lago, mereka akan membicarakan satu hal yang sama. Keduanya mesti mengarahkan masalah politik domestik yang sensitif.
Xi, meski bisa memegang kekuasaan mantap di negaranya selama masa jabatan lima tahun yang ia emban, kini mesti kembali bermanuver menjelang Kongres Partai Komunis dalam waktu dekat ini, menguatkan dukungan untuk kembali mencalonkan diri sebagai pemimpin China.
Karena itu, menurut analisis
CNN, pertemuan dengan Trump ini mesti berjalan mulus dan jangan sampai mengganggu sistem atau pasar internasional. Hal tersebut bisa mengganggu stabilitas politik di negaranya--di mana hubungan dengan Washington masih menjadi sorotan.
Dan Xi, meski berdiri kuat secara politik, tetap mempunyai musuh-musuh yang mesti ia hadapi, terutama karena ketegasannya melakukan operasi anti-korupsi yang mengincar kader Partai Komunis sendiri.
Dia tidak boleh mengambil langkah yang salah dalam pertemuan ini. Karena itu, mungkin Xi punya kepentingan untuk mengakomodasi kebutuhan Trump.
Xi mesti menghindari perang dagang yang bisa mengganggu stabilitas kedua negara. Kemungkinan ini bisa saja terjadi jika Trump menepati ancamannya untuk menjatuhkan tarif pada barang-barang buatan China.
Jika Trump membahas isu-isu seperti ekonomi dan kegagalan China menenangkan negara sahabatnya, Korea Utara, Xi juga akan ditempatkan dalam posisi yang tidak enak. Karena itu, suasana pertemuan ini agak sulit untuk diprediksi.
"Dia mesti menghindari kesan yang menunjukkan dirinya sedang dipermalukan," kata Gideon Rachman, kepala kolumnis hubungan internasional di Financial Times.
"Jika dia tampak ditekan oleh Trump ... maka situasi akan jadi sulit baginya." Trump pun sama-sama mesti membuat pertemuan ini berjalan sukses. Masa pemerintahannya yang masih seumur jagung kini sudah dapat dikatakan dalam keadaan krisis.
Krisis itu kerap berawal dari tindakannya sendiri, atau komentar dan twit yang kerap ia lontarkan. Dunia dibuat kebingungan dengan gaya kepemimpinannya, dan pemimpin-pemimpin negara bersiaga menanti sinyal yang menunjukkan Trump tidak sanggup menjalankan tugas sebagai presiden.
Trump juga ditekan menepati janjinya semasa kampanye untuk mengubah sepenuhnya hubungan perdagangan AS dengan China. Dan dia memperingatkan, pertemuan ini mungkin saja berjalan tidak mulus.
"Pertemuan pekan depan dengan China akan sangat sulit," tulisnya via Twitter.
Sementara itu, Trump memperingatkan, jika China tidak bisa menyelesaikan krisis nuklir di Semenanjung Korea, maka Washington akan mengambil langkah yang mungkin ditentang oleh Beijing.
Namun, bidang lain, Trump sudah sangat memperhalus pendekatannya terhadap raksasa Asia itu. Misalnya, dia tidak menepati pernyataannya yang menyebut Beijing sebagai manipulator mata uang dan tidak mengambil langkah signifikan untuk mengorientasi kembali alur perdagangan yang tidak seimbang.
Trump juga sudah mengikuti keinginan China untuk berpegang pada prinsip "Satu China," setelah dia mengisyaratkan akan menggunakan hubungan AS-Taiwan sebagai senjata dalam negosiasi dagang dengan Beijing.
Washington pun memperhalus retorikanya soal Laut China Selatan. Peringatan keras Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson yang menyebut China mesti dilarang mengakses pulau buatannya di kawasan itu, disampaikan saat sidang konfirmasi di Senat, kini tidak lagi bergema.