Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang pejabat Perserikatan Bangsa-bangsa yang terlibat dalam proyek pengganti tanaman ilegal dengan pangan legal di Kolombia diculik oleh para pembangkang bekas kelompok pemberontak FARC.
Ungkapan itu disampaikan PBB dan juga pemerintah setempat seperti dilansir Reuters, Jumat (5/5).
Pejabat PBB tersebut, yakni warga negara Kolombia bernama Arley Lopez. Ia dikabarkan diculik pada Rabu oleh sejumlah pria bersenjata di dekat Miraflores di provinsi Guaviare. Di wilayah selatan itu, pembudidayaan tanaman bahan narkotika selama ini menjadi lahan utama produksi kokain di Kolombia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lopez dihentikan oleh sekelompok pria bersenjata ketika berada dalam iring-iringan kendaraan.
Ia menjadi salah satu anggota tim yang terlibat dalam proyek pembahasan penggantian tanaman ilegal menjadi legal di Kolombia. Saat ini, pemerintah Kolombia sedang berupaya untuk mengganti lahan kokain menjadi lahan tanaman legal.
Penculikan Lopez berlangsung pada saat Dewan Keamanan PBB sedang berada di Kolombia untuk membahas kesepakatan perdamaian, yang ditandatangani tahun lalu, antara Pemerintah Kolombia dan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) untuk mengakhiri konflik lebih dari lima puluh tahun di negara tersebut.
PBB mengungkapkan dalam pernyataan resminya; "mengutuk kejadian di Guaviare tersebut yang tidak menghormati integritas dan hak seorang rekan di Kantor PBB urusan Narkoba dan Kejahatan serta meminta agar (rekan) tersebut segera dibebaskan."
Pemerintah Kolombia juga menentang penculikan itu, yang disebutnya sebagai tindakan "yang disesalkan."
Sebelumnya, sekitar 7.000 tentara pemberontak FARC menyetujui kesepakatan dan telah mulai menyerahkan senjata-senjata mereka kepada PBB. Namun, beberapa ratus anggotanya menolak, dan membangkang.
Para pembangkang ini kemudian membentuk suatu kelompok kejahatan baru dan melanjutkan bisnis perdagangan narkotika yang dulu dijalankan FARC selama bertahun-tahun. Kepemimpinan FARC sendiri telah memecat para pembangkang tersebut.
Dalam rekam jejaknya, FARC selama berpuluh-puluh tahun menggunakan perdagangan narkotika, penyanderaan dan penyiksaan untuk mendanai pemberontakannya terhadap pemerintah.
Banyak kalangan rakyat Kolombia, termasuk para politisi penentang seperti mantan Presiden Alvaro Uribe, merasa marah karena kesepakatan perdamaian itu memberi peluang bagi para bekas tentara FARC terhindar hukuman penjara dan bahkan dapat memasuki dunia politik.
Kalangan tersebut mengatakan pemerintah belum berbuat banyak untuk menghentikan kelompok-kelompok kejahatan lainnya dan para pembangkang FARC mengisi kekosongan tersebut serta mengambil alih bisnis narkotika.