Jakarta, CNN Indonesia -- Amerika Serikat mengecam pemungutan suara yang diadakan oleh pemerintah Presiden Venezuela Nicolas Maduro pada akhir pekan lalu. Selain itu, Amerika Serikat menyebut Maduro sebagai diktator dan akan memberikan sanksi.
“Maduro adalah seorang diktator yang mengabaikan kehendak rakyat Venezuela,” kata Menteri Keuangan Amerika Serikat Steven Mnuchin, dalam pernyataannya dan dilansir
AFP.
Mnuchin menyebut akan memberikan sanksi yang sebagian besar bersifat simbolis, yaitu membekukan aset yang mungkin dimiliki Maduro di Amerika Serikat dan melarang orang dengan lindungan hukum AS berurusan dengannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meksiko, Kolombia, Peru dan beberapa negara lainnya diketahui merapat ke Amerika Serikat dan menyebut tidak mengetahui akan hasil pemilihan pada Minggu (30/7).
Hasil pemilu itu sendiri membentuk sebuah ‘Dewan Konstituen Nasional’ baru menggantikan dewan legislatif Venezuela yang sebagian besar dikuasai oposisi Maduro.
Gedung Putih pun ikut merespon dengan aksi Maduro yang tetap menyelenggarakan pemilihan di tengah tekanan baik di dalam dan luar Venezuela.
“Maduro bukan hanya pemimpin yang buruk. Dia kini seorang diktator,” kata penasihat keamanan nasional Amerika Serikat, HR McMaster, diberitakan Reuters.
“Aksi baru-baru ini yang berpuncak pada perebutan kekuasaan mutlak melalui pemilihan palsu dari Dewan Konstituen menunjukkan tamparan serius untuk demokrasi di Bumi ini,” katanya.
Namun di sisi lain, Rusia, Kuba, Nikaragua, dan Bolivia mendukung keputusan Maduro. Maduro sendiri tidak peduli akan demonstrasi massa yang sudah berlangsung berbulan-bulan dan ancaman sanksi dari AS.
Komisi Pemilihan Nasional mengklaim lebih dari 40 persen dari 20 juta pemilih Venezuela telah berpartisipasi memberikan suara mereka pada akhir pekan lalu.
“Ini adalah suara revolusi terbesar yang pernah dicetak,” kata Maduro.
Bentrokan berdarah terjadi selama pemungutan suara digelar di Venezuela hari Minggu kemarin.
Ratusan pemrotes datang berhamburan ke tempat-tempat pemungutan suara, memaksa aparat keamanan melepaskan tembakan langsung hingga menewaskan 10 orang.
Sejumlah saksi mata menggambarkan para pasukan keamanan juga menembaki bangunan, selain orang-orang yang ada di ibukota.
Dua jenazah pria yang tertembak (usia 28 dan 39 tahun) ditemukan setelah unjuk rasa di negara bagian Merida. Sebelumnya, seorang pria 38 tahun ditemukan tewas setelah demonstrasi, Sabtu (29/7).
Pemimpin oposisi kaum muda, Ricardo Campos, 30, juga terbunuh saat melakukan protes menentang pemungutan suara itu.