Jakarta, CNN Indonesia -- Insiden penembakan yang menewaskan 59 orang di Las Vegas, Nevada, dapat dikatakan sebagai aksi yang brutal. Namun, apakah aksi itu dapat disebut sebagai serangan teroris?
Sejauh ini, pemerintah dan aparat penegak hukum di Amerika Serikat masih enggan mengeluarkan istilah yang biasanya dengan cepat dilekatkan pada insiden serupa, seandainya pelaku adalah imigran atau pemeluk agama Islam.
Stephen Paddock, laki-laki 64 tahun yang menghujani para pengunjung konser Jason Aldean di Las Vegas dengan tembakan senapan mesin, menyimpan puluhan senjata di kamar hotelnya yang terletak di lantai 32 dan belasan lain di rumah yang terpisah sekitar 130 kilometer dari lokasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah pensiunan akuntan itu melaksanakan aksi berdarahnya, otoritas mengungkap banyak detail baru, termasuk teleskop pada senapan yang ditemukan di hotel tersebut dan bahan peledak yang ditemukan di rumahnya.
Namun, mereka tidak bisa menjelaskan mengapa seorang warga lokal kulit putih yang tidak pernah punya catatan kejahatan serius bisa sampai melakukan pembantaian itu. Label terorisme pun belum didengungkan oleh pemerintah setempat.
Kelompok teror ISIS sudah mengklaim bertanggung jawab dan menyebut pelaku, Stephen Paddock, telah menjadi seorang Muslim beberapa bulan lalu. Namun, otoritas AS tak meyakini klaim yang tidak disertai bukti cukup itu.
"Biasanya pada kasus ecek-ecek 'teror' begitu murah diobral kata 'teroris', kenapa pada serangan brutal di Las Vegas mereka menjadi pelit?" kata Direktur Community Of Ideological Islamic Analyst Harits Abu Ulya dalam komentar tertulis yang diperoleh
CNNIndonesia.com, Selasa (3/10).
Harits secara spesifik mengkritisi media yang tidak menggunakan cap terorisme dalam melaporkan kejadian ini. Namun, di sisi lain, secara etis wartawan pun mesti menunggu pernyataan pihak yang berwenang sebelum menggunakan label tersebut.
"Publik makin sadar bahwa diksi "teroris" atau isu terorisme aladah etalase perang opini dan propaganda yang terselubung di dalamnya ada kepentingan politik global yang kompleks dan tendensius," kata Harits.
[Gambas:Video CNN]"Hal ini perlu disadari, faktor beragam kepentingan di balik isu terorisme membuat banyak pihak sulit bersikap objektif, jujur, adil dan proporsional dalam pemberitaan," ujarnya.
Harits tidak menjelaskan kepentingan apa yang dia maksud. Namun, Presiden AS Donald Trump saat ini sedang dihadapkan pada dua masalah, yakni pembatasan imigrasi dan pengendalian senjata.
Namun, Gedung Putih enggan berkomentar saat ditanyai soal isu tersebut, tak lama setelah aksi penembakan terbesar dalam sejarah modern Amerika itu berakhir.
Juru bicara Gedung Putih, Sarah Sanders, mengatakan "hari ini adalah hari untuk berbelasungkawa bagi para penyintas." Dalam sesi konferensi pers yang dilaporkan pada Senin malam ini (2/10), Sanders juga tidak menyebut apakah Presiden Donald Trump akan membahas isu tersebut.
"Ada waktu dan tempat untuk debat politik," kata Sanders. "Ini saatnya untuk bersatu."
Menggarisbawahi motif pelaku yang belum diketahui, Sanders mengatakan "masih prematur untuk mendiskusikan kebijakan saat kita belum sepenuhnya tahu fakta-fakta yang ada."