Pencari Suaka Tolak Penutupan Pusat Detensi Papua Nugini

Reuters | CNN Indonesia
Selasa, 31 Okt 2017 06:52 WIB
Ratusan pencari suaka yang ditempatkan Australia di pusat detensi Papua Nugini menolak upaya otoritas kedua negara menutup pusat detensi yang mereka huni.
Ilustrasi pencari suaka di Manus Island Center. (AAP/Eoin Blackwell/via REUTERS)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ratusan pengungsi dan pencari suaka membarikade sebuah pusat detensi di Papua Nugini pada Selasa (31/10) untuk menolak upaya otoritas setempat dan Australia menutup fasilitas tersebut.

Para pemerhati hak asasi manusia memperingatkan risiko krisis kemanusiaan yang kemungkinan besar terjadi antara para penghuni pusat detensi Manus Island Centre dan pihak berwenang, sementara waktu tenggat penutupan kamp yang didanai Australia itu tiba hari ini.

Menyoroti kekhawatiran soal penolakan masyarakat lokal, pengacara sekitar 600 orang yang menolak direlokasi ke tiga fasilitas lain di Papua Nugini itu mengajukan gugatan di menit-menit terakhir untuk mencegah penutupan kamp dan relokasi para penghuninya ke negara ketiga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pusat detensi Manus selama ini menjadi titik kunci dalam kebijakan imigrasi kontroversial "Perbatasan Berdaulat" Australia. Negara tersebut menolak pencari suaka yang tiba menggunakan kapal, menahan mereka di sejumlah kamp Papua Nugini, Nauru dan Pasifik Selatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pegiat HAM sudah bertahun-tahun menyoroti masalah pelanggaran hak yang menimpa para penghuni tempat itu.

Nick McKim, senator Partai Hijau Australia yang berada di Manus, mengatakan otoritas berulang kali mematikan listrik di gedung tersebut semalam untuk membujuk para penghuninya agar mau pergi.

Para pejabat Papua Nugini juga memberi pemberi tahuan di kamp pada Selasa, memperingatkan bahwa listrik dan pasokan air akan dimatikan pada 17.00 waktu setempat, sementara makanan pun tak dikirim lagi ke lokasi tersebut.
Papua Nugini juga mengerahkan pasukan paramiliter untuk memantau proses penutupan.

"Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia," kata McKim kepada radio Australian Broadcasting Corp sebagaimana dikutip Reuters. "Mereka masih menjadi tanggung jawab Australia dan PBB telah berulang kali mengonfirmasinya."

Mahkamah Agung Papua Nugini pada tahun lalu memutuskan bahwa pusat Detensi Manus yang pertama kali dibuka pada 2001 silam beroperasi secara ilegal. Ditutup antara 2008 hingga 2011, fasilitas ini dibuka pada 2012 menyusul peningkatan jumlah pengungsi yang pada puncaknya mencapai lebih dari 20.500 orang di 2013. Dua tahun kemudian, pemerintah Australia menyatakan sudah tidak ada lagi kapal yang masuk.

Menteri Imigrasi Papua Nugini Petrus Thomas memeringatkan bahwa pihak Australia tidak bisa begitu saja mengabaikan tanggung jawab hukum, finansial dan moral atas para pengungsi.
Australia telah menyatakan akan menganggarkan lebih dari A$250 juta untuk memberi mereka tempat tinggal hingga setahun ke depan. Tidak sampai 200 orang yang sudah dipindahkan hingga saat ini.

Relokasi para pengungsi yang seluruhnya laki-laki itu merupaka langkah sementara untuk memberi Amerika Serikat waktu mengolah proses penerimaanpara pengungsi di bawah perjanjian pertukaran dengan Australia.

AS telah menyatakan akan membawa hingga 1.250 pengungsi dari dua pusat detensi yang berada di Pasifik, tapi sejauh ini hanya 25 orang yang telah diberi tempat pemukiman kembali. Sebagai imbalannya, Australia menyatakan akan menerima para pengungsi dari Amerika Tengah.

Sementara itu, Australia menyatakan para pengungsi yang tidak direlokasi ke AS akan diperbolehkan untuk tinggal di Papua Nugini atau Nauru. Namun, hampir semuanya menolak undangan untuk menetap secara permanen di kedua lokasi. Thomas mengatakan Papua Nugini tidak akan memaksa siapapun untuk tetap tinggal.
Aliran pengungsi tersebut selama ini berasal dari negara-negara yang dilanda perang seperti Suriah dan Afghanistan, juga Pakistan, Iran, Sri Lanka dan Myanmar.

(aal)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER