Jakarta, CNN Indonesia -- Puluhan kendaraan melaju pelan di Jalan
Kebon Sirih,
Jakarta Pusat. Klakson motor bersahutan, meminta jalan dan mencari celah di antara barisan mobil.
Di tengah kebisingan itu, puluhan orang menggelar tikar di atas trotoar. Rasa lelah terpancar di wajah orang-orang asing itu.
Mereka adalah para pencari suaka yang menanti kepastian. Hidup mereka kini bergantung pada Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya di Kebon Sirih, di Kalideres para pengungsi yang frustrasi mengadang mobil UNHCR sampai menimbulkan kegaduhan. Hingga akhirnya, pekan lalu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka gedung bekas Kodim untuk menampung 1.155 pengungsi.
Di berbagai penjuru Indonesia lainnya, sekitar 14 ribu pengungsi mengalami nasib sama. Kabur dari berbagai negara konflik seperti Afghanistan, Somalia, Sudan, Bangladesh, Myanmar, dan Iran, kini mereka hidup luntang-lantung di Indonesia.
 Para pencari suaka di Kebon Sirih, Jakarta. (CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha) |
Indonesia sendiri tidak berkewajiban menerima pengungsi karena bukan negara penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967. Namun, Indonesia tetap menerima mereka untuk sementara karena alasan kemanusiaan.
Para pengungsi di Indonesia pun hanya dapat menanti UNHCR menepati janjinya untuk menempatkan mereka di negara ketiga, seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru.
Namun, kehadiran mereka di tengah masyarakat menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi warga yang tinggal di dekat tempat pengungsi bermukim. Kondisi ini mendesak pemerintah untuk segera mencari jalan keluar.
Problematika semacam ini sebenarnya juga dialami oleh sejumlah negara Asia Tenggara yang menjadi tempat transit favorit para pengungsi, seperti Malaysia dan Thailand.
Sebagai negara yang sama-sama tak meratifikasi konvensi pengungsi, mereka memiliki jurus masing-masing untuk mengatasi masalah ini.
MalaysiaLayaknya Indonesia, Malaysia juga memiliki rekam jejak panjang penerimaan pengungsi. Malaysia kembali menjadi sorotan dunia pada 2015, ketika mengumumkan akan menerima 3.000 pengungsi Suriah yang kabur dari gejolak perang.
Tak hanya izin tinggal sementara, para pengungsi itu juga diperbolehkan bekerja dan sekolah di Malaysia.
Dua tahun kemudian, tepatnya Maret 2017, Malaysia meluncurkan program yang mengizinkan 300 pengungsi Rohingya bekerja secara legal di Negeri Jiran.
Para pengungsi yang lolos seleksi lantas ditempatkan di perusahaan-perusahaan manufaktur dan agrikultur.
Dengan program ini, para pengungsi tak hanya bisa mendapatkan penghasilan, tapi juga bekal keterampilan sebelum ditempatkan di negara ketiga.
 Para pencari suaka di Kalideres. (CNN Indonesia/Aria Ananda) |
UNHCR sendiri kini tengah "merayu" pemerintah Indonesia untuk membantu para pengungsi mencari pemasukan agar dapat bertahan hidup daripada hidup menggelandang sembari menanti penempatan ke negara ketiga.
Kepala Misi UNHCR untuk Indonesia, Thomas Vargas, pun mendatangi kantor Kementerian Luar Negeri guna membahas prospek ini pada pekan lalu.
"Kami tidak meminta pemerintah mengizinkan pengungsi untuk bekerja. Kami hanya ingin pemerintah memberikan kesempatan pengungsi dilibatkan dengan proyek-proyek wiraswasta lokal yang dapat membantu kelancaran bisnis dan di saat bersamaan bisa membantu dirinya sendiri dan keluarganya untuk bertahan hidup," kata Vargas.
Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib, mengatakan para pengungsi itu memang tak diperbolehkan bekerja.
Kata dia, persoalannya bukan dilarang oleh pemerintah, tapi memang Indonesia tidak punya aturannya karena bukan negara ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
Menurut Achsanul, saat ini pemerintah tengah berunding dengan UNHCR guna mencari solusi tepat untuk memberdayakan para pengungsi.
Terimpit di tengah negara konflik, seperti Myanmar dan Kamboja, Thailand juga punya sekelumit kisah dalam mengatasi pengungsi.
Thailand tercatat 130 ribu pengungsi, sekitar 90 persen di antaranya berasal dari Myanmar. Merujuk pada data organisasi non-pemerintah basis Washington, Borgen Project, lebih dari 80 persen pengungsi Myanmar itu merupakan etnis Karen yang menjadi korban persekusi militer pada 1988.
Sama seperti di Indonesia dan Malaysia, pengungsi di Thailand juga pada dasarnya tak memiliki hak kewarganegaraan, termasuk untuk bekerja dan mendapatkan pendidikan.
Bedanya, pemerintah Thailand menerapkan dan menegakkan hukum yang ketat sehingga para imigran tak berani bekerja secara ilegal atau berbuat gaduh di luar kamp.
Sebaliknya, pemerintah pun sangat memperhatikan keadaan di kamp-kamp pengungsi. Di dalam penampungan itu bahkan ada Komite Pengungsi Karen (KRC) yang bertindak sebagai penyambung lidah antara pemerintah dan pengungsi.
Anggota komite tersebut sendiri merupakan perwakilan yang dipilih langsung oleh para pengungsi melalui proses pemungutan suara.
KRC dan World Education juga membuka kesempatan bagi para pengungsi untuk mendapatkan pendidikan. Kini, lebih dari 2.000 siswa pengungsi menuntut ilmu di rumah-rumah singgah.
Proses penempatan di negara ketiga baru dimulai pada 2005. Sejak saat itu, lebih dari 80 ribu pengungsi sudah ditempatkan di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada.
Namun, setelah pergolakan politik yang berujung penggulingan kekuasaan sipil oleh militer pada 2014 lalu, kebijakan terkait pengungsi di Thailand mulai berubah haluan.
Di bawah kecaman internasional, Thailand terus memulangkan pengungsi ke negara asalnya, di mana konflik masih berkecamuk.
Pada 2015, misalnya, Thailand mengirim pulang sekitar 100 imigran Muslim Uighur ke China. Setahun kemudian, Thailand merepatriasi 68 pengungsi Muslim Rohingya ke Myanmar.
Arah kebijakan kembali berputar pada awal tahun ini, setelah Thailand menuai kecaman internasional karena memulangkan seorang perempuan Arab Saudi, Rahaf Mohamed, ke kampung halamannya.
[Gambas:Video CNN]
Mohamed angkat kaki dari Saudi untuk melarikan dari dari keluarganya yang kerap melakukan penganiayaan. Ia singgah di Thailand sembari menunggu proses permintaan suaka ke Australia.
Pada Januari lalu, kepala urusan imigrasi Thailand, Surachate Hakparn, akhirnya menyatakan bahwa negaranya akan mempertimbangkan kebijakan yang lebih lunak terhadap imigran.
"[Thailand] akan mengikuti norma-norma internasional," katanya dilansir dari
The Guardian.