Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), dan koalisi pemerintah tengah menyusun konstitusi baru pada Senin (1/2).
Penyusunan konstitusi baru ini berlangsung kurang dari empat tahun setelah Erdogan merombak konstitusi sebelumnya yang kian memperbesar kekuasaannya sebagai presiden.
"Mungkin, sudah waktunya Turki untuk sekali lagi membahas konstitusi baru. Jika kita mencapai kesepakatan dengan mitra koalisi, kita dapat memulai menyusun konstitusi baru di masa mendatang," kata Erdogan usai rapat kabinet di Ankara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erdogan menekankan penyusunan konstitusi baru ini harus berlangsung transparan dan terbuka kepada publik.
Pernyataan Erdogan ini muncul beberapa pekan setelah pemimpin Partai MHP, Devlet Bahceli, menyarankan perubahan konstitusi untuk melarang Partai Demokratik Rakyat (HDP) pro-kelompok kurdi beroperasi dengan alasan separatisme.
HDP mengecam niat tersebut yang dinilai mereka sebagai upaya membungkam enam juta pendukungnya.
Bahceli telah lama menjadi pengkritik HDP. Sama seperti Erdogan, Bahceli juga menuduh HDP berkaitan dengan kelompok Partai pekerja Kurdistan (PKK) yang dianggap Turki sebagai organisasi militan.
PKK telah mempelopori gerakan pemberontakan di tenggara Turki selama 36 tahun.
"Menyusun konstitusi bukan lah sesuatu yang bisa dilakukan di bawah bayang-bayang kelompok yang terkait dengan organisasi teroris (PKK) dengan orang-orang yang ikatan mental dan emosionalnya putus," kata Erdogan.
Organisasi pemerhati HAM dan negara Barat mengkritik Turki di bawah kepemimpinan Erdogan yang dinilai mengarah kepada sistem otoriter.
Dikutip Reuters, negara Barat juga menyinggung ancaman kepemimpinan Erdogan yang kerap mengesampingkan hukum.
Hal itu semakin kentara setelah upaya kudeta 2016 yang membuat pemerintah menerapkan kebijakan represif dan keras terhadap setiap pihak yang terlibat upaya penggulingan Erdogan.
Pada 2017, Turki melakukan amandemen konstitusi yang membuat sistem negara itu beralih dari demokrasi parlementer ke sistem presidensial eksekutif. Perubahan tersebut mendapat reaksi keras dari partai oposisi dan kalangan pengkritik pemerintahan Erdogan.
Sebab, dengan konstitusi baru itu, Erdogan terpilih sebagai presiden pada 2018 dengan kekuasaan eksekutif yang lebih luas.
(rds/evn)