Kisah Putri Jepang dan Pakem Kekaisaran yang Tak Lagi Relevan
Pernikahan keponakan Kaisar Jepang, Putri Mako, dengan salah seorang warga sipil biasa, Kei Komuro, memicu perdebatan publik. Hal itu juga turut memicu kekhawatiran soal krisis pewaris takhta dan perdebatan mengenai masa depan kerajaan.
Hubungan dua sejoli itu menjadi sorotan media lokal maupun internasional. Bahkan, beberapa media membedah polemik keluarga Komuro perihal finansial.
Masalah yang tak pernah mengering itu membuat kesehatan mental Putri Mako terganggu.
Meski dihujani dengan beragam kontroversi, mereka tetap melangsungkan pernikahan pada Selasa (26/10). Putri Mako pun harus merelakan gelar kekaisarannya karena menikah dengan warga sipil biasa, sebagaimana yang tercantum dalam Hukum Rumah Tangga Kekaisaran Jepang.
Lihat Juga : |
Pernikahan mereka digelar dengan sederhana, tanpa tradisi kerajaan, tanpa kemegahan dan hiruk-pikuk keramaian. Putri Mako juga menolak hadiah berupa uang dari Kekaisaran Jepang.
Fenomena anggota Kekaisaran atau Kerajaan yang angkat kaki bukan kali pertama. Di Jepang sendiri, Bibi Putri Mako, Sayako Kuroda, memilih pergi dari istana setelah menikah dengan arsitek tata kota pada 2005.
Akademisi Studi Jepang di Universitas Indonesia, Ilma Suwandri Janti, menilai angkat kakinya anggota keluarga bangsawan lantaran mereka tidak ingin terikat dengan peraturan Kerajaan yang dianggap tak relevan seiring perubahan zaman.
"Ini yang menyebabkan ada beberapa anggota keluarga yang memilih keluar dari keluarga kekaisaran dengan alasan pernikahan. Mereka memilih hidup sebagai rakyat biasa yang tidak terikat dengan peraturan-peraturan tersebut," papar Ilma saat dihubungi CNNIndonesia.com. Kamis (28/10).
Terlebih, nilai-nilai tentang integritas sosial amat kuat di Jepang. Bagi sebagian besar orang Jepang, memiliki peran atau fungsi di masyarakat menjadikan hidup mereka punya tujuan dan makna.
Sebaliknya, keterputusan peran untuk bermanfaat di tengah masyarakat membuat mereka kehilangan jati diri. Tak jarang pula mengakibatkan depresi.
Bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka pun jadi kunci penting untuk menjadi manusia-manusia Jepang secara utuh.
Beda halnya dengan para anggota keluarga Kekaisaran Jepang. Keberadaan Kaisar dan keluarganya ada di posisi sebagai simbol negara. Mereka merupakan warga kelas satu dengan privilese luar biasa.
Kaisar dan para keluarganya tak seperti rakyat Jepang pada umumnya. Para bangsawan di sana tak perlu memiliki spesialisasi atau kecakapan tertentu untuk berfungsi di masyarakat. Fungsi mereka hanya sebagai simbol yang disakralkan.
Namun, seiring perkembangan dunia yang semakin kompleks dan menuntut pencapaian prestasi, eksistensi Kekaisaran semakin dipertanyakan pakem dan kesakralannya.
Di satu sisi, terlahir sebagai anggota Kekaisaran dengan segala pakemnya membuat mereka seolah terasing di antara hiruk-pikuk perkembangan masyarakat Jepang.
Boleh jadi hidup sebagai 'manusia normal' lebih menarik bagi para Putri Jepang sehingga memilih menjadi warga biasa. Salah satunya tentu dengan mencari dan memutuskan jodoh sesuai dengan keinginan mereka.
Salah satu fakta itu setidaknya bisa dikaitkan dengan hasil jajak pendapat terkait pernikahan Putri Mako dengan warga biasa. Berdasarkan survei Yomiuri Shimbun yang dikutip dari AFP, mayoritas warga Jepang yaitu 53 persen justru mendukung pernikahan sang keponakan Kaisar Naruhito tersebut. Sementara hanya 33 persen yang tak setuju.
Pada responden berusia 18-39 tahun, 59 persen bahkan mendukung pernikahan tersebut. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, 53 persen pria dan 54 persen perempuan yang mengikuti survei ini juga mendukung pernikahan Putri Mako.
Putri Mako dikaitkan dengan kisah Pangeran Harry dan Meghan Markle, baca di halaman berikutnya...