Amerika Serikat (AS) menjadi sorotan usai seorang remaja berusia 18 tahun, Salvador Ramos, melepas tembakan secara membabi buta di sekolah dasar (SD) Robb kota Uvalde, Texas Selatan pada Selasa (24/5). Melihat insiden ini, mengapa remaja AS bisa menjadi pelaku penembakan massal?
Ramos membeli senapan di ulang tahunnya yang ke 18. Sebelum menyerang anak-anak di SD itu, ia terlebih dahulu melayangkan peluru ke seorang nenek. Setelahnya, dia menembak ke arah anak-anak SD di Uvalde. Serangan tersebut mengakibatkan 19 anak-anak dan dua orang dewasa meninggal dunia.
Ramos bukan remaja pertama yang melancarkan penembakan. Pada pertengahan Mei lalu, remaja berusia 18 tahun menembak 10 orang hingga tewas di sekitar toko kelontong di New York.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Serangan di sekolah dasar itu juga bukan perdana. Sepanjang 2022, tercatat 39 penembakan di sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Menenteng pistol di kalangan remaja AS meningkat secara signifikan selama dua dekade terakhir.
Menurut laporan jurnal Pediatrics, pada 2015-2019 saja jumlah remaja yang membawa senjata api itu naik menjadi 41 persen. Penelitian itu berdasarkan laporan lebih dari 297 ribu remaja di AS yang berusia 12 hingga 17 tahun.
Melihat pelaku yang berasal dari kalangan remaja, profesor dari pusat riset politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Indonesia, Siswanto, menilai ada sejumlah faktor. Mulai dari kemudahan akses senjata, kemunduran ekonomi hingga kondisi kejiwaan para kaum muda di Negeri Paman Sam.
"Sebetulnya yang paling nyata adalah karena masyarakat mereka [AS] punya semacam akses untuk memiliki senjata dan sesuatu yang legal dari sisi hukum. Ada semacam potensi yang membuat orang Amerika punya senjata karena ada undang-undang," kata Siswanto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (26/5).
Aturan yang menyokong kepemilikan senjata itu di antaranya Gun Control Act of 1968. Dalam aturan ini, warga negara dan penduduk resmi yang berusia minimal 18 tahun harus membeli senjata atau senapan serta amunisi.
Menanggapi penggunaan senjata api yang merajalela dan dianggap mengancam keamanan warga, AS pernah mencoba merancang undang-undang pembatasan senjata dan merevisi UU kepemilikan senjata. Namun, rencana itu masih terkatung-katung hingga sekarang.
Faktor lain yang turut berkontribusi remaja melakukan penembakan yakni kemunduran ekonomi di AS yang sudah berlangsung sejak lama. Kemunduran ini bukan disebabkan pandemi Covid-19. Namun, perang Irak yang menguras sumber daya Washington.
"Perang itu membuat negara menjadi bangkrut. Sumber daya manusianya harus dikerahkan untuk menghadapi perang dan perang itu harus menang atau kalah. Buat negara seperti Amerika harus memenangkan sebuah perang karena negara yang dikategorikan sebagai polisi dunia," lanjut Siswanto.
Lebih jauh ia menerangkan, dalam konteks hubungan internasional, AS harus mempertahankan kecenderungan eksistensialnya sebagai negara adidaya yang ingin memenangkan perang yang dilakukan.
"Nah ekonomi Amerika mulai bangkrut ketika Amerika terlibat dalam perang Irak. Kenapa? karena tadi sumber dayanya harus dikerahkan," jelas Siswanto lagi.
Pada Maret 2003 lalu, AS memimpin invasi ke Irak usai presiden George W Bush menuduh Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal. Tujuh bulan kemudian, Washington mengakui tak ada senjata itu di tanah Irak. Namun, penempatan pasukan Washington masih berlanjut hingga 2020.
Selama perang di Irak, AS diperkirakan menghabiskan biaya nyaris US$2 triliun atau sekitar Rp27.400 triliun.