Conflict Armament Research (CAR), kelompok pemantau senjata yang berbasis di London, melaporkan Badan Intelijen Negara (BIN) membeli sekitar 2.500 mortir dari Serbia untuk agen RI di Papua dan dijatuhkan ke desa-desa 2021 lalu.
Dilansir dari Reuters pada Sabtu (4/6), laporan tersebut menunjukkan mortir itu diproduksi pembuat senjata Serbia, Krusik.
Senjata tersebut kemudian dimodifikasi, entah oleh pihak mana, agar bisa dijatuhkan dari udara alih-alih dari tabung mortir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, tiga anggota CAR mengatakan pembelian senjata tak diungkapkan ke komite pengawasan parlemen yang menyetujui anggaran.
Menurut mereka, BIN juga menerima 3.000 inisiator elektronik dan tiga perangkat pengatur waktu yang biasanya difungsikan untuk membasmi bahan peledak.
CAR melaporkan peluru mortir 81mm digunakan dalam serangan di sejumlah desa Papua pada Oktober 2021 lalu.
Salah satu saksi mata dan penyidik yang bekerja untuk delapan kelompok hak asasi manusia (HAM) menyampaikan tak ada yang terbunuh dalam serangan itu. Namun, rumah dan sejumlah gereja terbakar.
"Jelas bahwa mortir ini merupakan senjata ofensif yang digunakan di wilayah sipil," kata penyelenggara Proyek West Papua Universitas Wollongong Jim Elmslie.
Jim adalah orang yang menyerahkan laporan CAR ke Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB pada April lalu.
"Ini adalah pelanggaran hukum kemanusiaan," katanya.
Saksi mata Pastor Yahya Uopmabin menyaksikan serangan itu dari pegunungan terdekat.
"Mereka menjatuhkan bom dengan pesawat tak berawak. Tempat ibadah dan rumah terbakar," kata Yahya.
Seorang penyelidik Papua yang bekerja untuk konsorsium delapan kelompok hak asasi manusia dan gereja, Eneko Bahabol, mengatakan 32 mortir dijatuhkan, termasuk lima yang tak meledak.
Jika merujuk hukum di Indonesia, militer, polisi dan lembaga pemerintah lain harus mengantongi izin dari Kementerian Pertahanan untuk membeli senjata. Mereka juga wajib menggunakan bahan yang diproduksi industri pertahanan dalam negeri jika tersedia.
Faktanya, perusahaan pembuat senjata milik negara, PT Pindad, juga memproduksi mortir. Mereka merupakan bagian dari penyedia persenjataan militer RI.
Komisaris PT Pindad Alexandra Wuhan tidak ingin membahas secara spesifik pembelian mortir tersebut. Ia hanya mengatakan perusahaan tunduk dengan aturan.
"Pindad berkewajiban dan tunduk pada hukum, aturan, dan peraturan Indonesia soal pengadaan senjata militer dan sipil, begitu juga BIN sebagai pengguna akhir," tutur Alexandra.
"Pindad tak bisa bertanggung jawab soal kapan dan di mana senjata digunakan pihak berwenang Indonesia. Kami tidak punya wewenang seperti itu," lanjutnya.
Menanggapi serangan tahun lalu, Juru Bicara TNI Kolonel Wieng Paronoto membantah bahwa personelnya menjatuhkan amunisi di desa-desa. Dia juga menolak mengatakan apakah BIN menyebarkan amunisi.
Terkait soal pengadaan senjata, salah satu sumber kementerian pertahanan mengatakan pihaknya tak pernah menyetujui pembelian atau peraturan apa pun yang memungkinkan BIN mendapat amunisi.
"Ini menimbulkan pertanyaan mengapa BIN menginginkan itu," kata sumber itu kepada Reuters.
Eks jenderal sekaligus anggota Majelis Kehormatan Dewan (MKD) Tubagus Hasanuddin mengatakan BIN bisa memperoleh senjata ringan sebagai pertahanan para agennya. Namun, lain hal jika senjata kelas militer.
"(Senjata kelas militer) harus untuk tujuan pendidikan atau pelatihan dan bukan untuk tujuan tempur," kata Tubagus.
"Kami perlu melakukan audiensi terlebih dahulu dengan BIN dan memeriksa alasannya. Setelah itu kami akan memeriksa legalitasnya," tambahnya.
Seorang anggota Komisi I DPR yang membawahi BIN juga buka suara. Ia mengaku menyelidiki sendiri temuan laporan CAR untuk memastikan apakah ada kesalahan atau tidak.
Pejabat itu juga sudah mendekati BIN dan PT Pindad untuk meminta penjelasan, tapi tak mendapat penjelasan apa pun.
"Pasti ada sesuatu yang sangat, sangat sensitif soal itu," kata anggota Komisi I DPR yang enggan disebutkan identitasnya oleh Reuters.
Lanjut ke sebelah...