Jakarta, CNN Indonesia --
Demonstrasi tengah mengguncang beberapa negara di tengah pandemi Covid-19, ancaman krisis ekonomi dan resesi.
Negara maju sekalipun tak luput dari protes warganya. Beberapa di antaranya China dan Iran. Demo di dua negara ini diinisiasi kelompok muda yang berani melawan rezim, yang dinilai otoriter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
China
China menjadi sorotan usai sejumlah warga di berbagai kota menolak lockdown imbas kasus Covid-19. Beberapa juga menuntut Presiden Xi Jinping mundur.
Para pedemo diduga kebanyakan berasal dari kaum muda yang protes dengan kebijakan 'tangan besi' Xi Jinping yang semakin merajalela selama pandemi.
Terbaru, warga di Guangzhou, China Selatan, menggelar demo pada Selasa malam hingga Rabu (30/11). Demo ini bahkan berujung bentrok antara polisi dengan peserta aksi.
[Gambas:Video CNN]
Pekan lalu, Shanghai juga menjadi sorotan usai warga menggelar di jalan Urumqi. Aksi ini juga berujung ricuh.
Di Minggu malam, beberapa orang dilaporkan ditahan. Salah satu jurnalis media internasional, BBC, juga sempat ditangkap dan mengalami kekerasan dari polisi China.
Pihak berwenang sempat menutup jalan usai demo ricuh. Namun, saat pagi hari, mereka membuka kembali.
Demo di Urumqi berawal saat warga protes atas kematian 10 orang imbas kebakaran di Ibu Kota Provinsi, Xinjiang, pada Kamis pekan lalu.
Warga menilai banyak korban meninggal karena petugas telat tiba di lokasi karena terhambat lockdown yang terlalu ketat.
Sehari usai insiden itu, ratusan warga menggelar aksi protes di depan kantor pemerintahan Urumqi.
Berdasarkan video yang beredar, warga berkumpul menumpahkan amarah dengan meneriakkan slogan, "Cabut lockdown!"
Demo tersebut kemudian menjalar ke kota lain di China, termasuk Shanghai.
Pada Oktober lalu, warga juga menyuarakan protes jelang Kongres Partai Komunis China (PKC) di Beijing atau yang dikenal Beijing Bridge.
Foto-foto yang beredar di media sosial menunjukkan dua spanduk tergantung di jalan layang di Beijing.
"Katakan tidak untuk tes Covid, ya untuk makanan. Tidak untuk mengunci, ya untuk kebebasan," tulis salah satu spanduk, seperti dikutip CNN.
Tulisan di spanduk itu berlanjut, "Tindak untuk revolusi budaya, ya untuk reformasi. Tidak untuk pemimpin besar, ya untuk memilih. Jangan jadi budak, jadilah warga negara."
Spanduk yang lain juga menyerukan, "Majulah, singkirkan diktator dan pengkhianat nasional Xi Jinping."
Selain foto spanduk, video yang menunjukkan kepulan asap, rekaman suara slogan protes juga beredar di media sosial.
China telah lama tak diterpa demo. Aksi besar terakhir yang berlangsung di Negeri Tirai Bambu saat protes di Tiananmen pada 1989.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
Demo Berdarah di Iran
Sejak September lalu, Iran bergejolak. Banyak warga turun ke jalan memprotes kematian Mahsa Amini. Mereka juga menuntut kebebasan ekspresi yang kian terkikis di negara Timur Tengah itu.
Kebanyakan pedemo juga berasal dari generasi muda yang menyatakan ketidakpuasan dengan rezim saat ini.
Polisi moral menangkap Amini karena dianggap tak memakai pakaian yang sesuai aturan negara. Dalam beberapa gambar, ia tampak mengenakan penutup kepala.
Amini kemudian meninggal pada 16 September, tiga hari setelah koma. Banyak pihak menuding ia kehilangan nyawa karena mengalami penyiksaan dari polisi moral Iran.
Kematian Amini pun menjadi sorotan luas hingga memicu gelombang demonstrasi di Iran, mulai dari aksi tenang hingga berujung kerusuhan.
Protes terus terjadi. Di media sosial bahkan tampak para kaum muda Iran mengambil alih kemudi revolusi.
Di salah satu video yang beredar, mereka menarik foto pejabat Kementerian Pendidikan Iran sembari berteriak "Bi-sharaf!" [Tak beretika].
Mereka juga menggunakan potret pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei untuk menjadi alat protes. Perempuan muda ini melepas jilbab dan menggemgangnya dengan satu tangan, dan tangan yang lain memegang foto Khamenei.
Satu video lain memperlihatkan sekelompok perempuan meletakkan potret Khamenei di tanah. Mereka bergiliran melompat dan menginjak foto itu.
Mereka tampak tertawa dan diakhir video terdengar "Jangan takut, jangan takut. Kita semua bersama-sama."
Video lain menunjukkan tiga gadis usia sekolah dasar berbari, melambai-lambaikan jilbab mereka di tangan.
"Perempuan, hidup, kebebasan," teriak mereka, seperti dikutip Atlantic Council.
Iran sebetulnya tak asing dengan demonstrasi. Pengamat mengatakan masyarakat di negara ini memiliki corak khusus dalam mengekrepsikan sikap politik mereka.
Mereka familiar dengan aksi turun ke jalan bahkan pasca revolusi 1980.
Pasca-revolusi 1980, warga menggelar demo tetapi disambut penangkapan dan eksekusi massal.
Kemudian pada 1999, mahasiswa turun ke jalan selama enam hari. Namun, pihak berwenang menangkap ribuan peserta aksi. Di antara mereka juga banyak yang hilang, terluka, atau terbunuh.
Satu dekade kemudian, warga, termasuk banyak perempuan, turun ke jalan memprotes pemilihan umum (Pemilu). Ini merupakan aksi terbesar dalam 30 tahun terakhir. Namun, gayung tak bersambut, mereka tetap menghadapi penangkapan dan tekanan lain.
Salah satu perempuan yang menjadi korban dalam aksi itu adalah Neda Agha Soltan. Ia tewas ditembak milisi Basij.
Kematian Soltan bahkan disebut menjadi simbol kebrutalan pemerintah.
Pada 2019, demo juga meletus usai bahan bakar naik. Aksi ini kemudian meluas hingga menjadi demo anti-pemerintah.