Sejak September lalu, Iran bergejolak. Banyak warga turun ke jalan memprotes kematian Mahsa Amini. Mereka juga menuntut kebebasan ekspresi yang kian terkikis di negara Timur Tengah itu.
Kebanyakan pedemo juga berasal dari generasi muda yang menyatakan ketidakpuasan dengan rezim saat ini.
Polisi moral menangkap Amini karena dianggap tak memakai pakaian yang sesuai aturan negara. Dalam beberapa gambar, ia tampak mengenakan penutup kepala.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amini kemudian meninggal pada 16 September, tiga hari setelah koma. Banyak pihak menuding ia kehilangan nyawa karena mengalami penyiksaan dari polisi moral Iran.
Kematian Amini pun menjadi sorotan luas hingga memicu gelombang demonstrasi di Iran, mulai dari aksi tenang hingga berujung kerusuhan.
Protes terus terjadi. Di media sosial bahkan tampak para kaum muda Iran mengambil alih kemudi revolusi.
Di salah satu video yang beredar, mereka menarik foto pejabat Kementerian Pendidikan Iran sembari berteriak "Bi-sharaf!" [Tak beretika].
Mereka juga menggunakan potret pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei untuk menjadi alat protes. Perempuan muda ini melepas jilbab dan menggemgangnya dengan satu tangan, dan tangan yang lain memegang foto Khamenei.
Satu video lain memperlihatkan sekelompok perempuan meletakkan potret Khamenei di tanah. Mereka bergiliran melompat dan menginjak foto itu.
Mereka tampak tertawa dan diakhir video terdengar "Jangan takut, jangan takut. Kita semua bersama-sama."
Video lain menunjukkan tiga gadis usia sekolah dasar berbari, melambai-lambaikan jilbab mereka di tangan.
"Perempuan, hidup, kebebasan," teriak mereka, seperti dikutip Atlantic Council.
Iran sebetulnya tak asing dengan demonstrasi. Pengamat mengatakan masyarakat di negara ini memiliki corak khusus dalam mengekrepsikan sikap politik mereka.
Mereka familiar dengan aksi turun ke jalan bahkan pasca revolusi 1980.
Pasca-revolusi 1980, warga menggelar demo tetapi disambut penangkapan dan eksekusi massal.
Kemudian pada 1999, mahasiswa turun ke jalan selama enam hari. Namun, pihak berwenang menangkap ribuan peserta aksi. Di antara mereka juga banyak yang hilang, terluka, atau terbunuh.
Satu dekade kemudian, warga, termasuk banyak perempuan, turun ke jalan memprotes pemilihan umum (Pemilu). Ini merupakan aksi terbesar dalam 30 tahun terakhir. Namun, gayung tak bersambut, mereka tetap menghadapi penangkapan dan tekanan lain.
Salah satu perempuan yang menjadi korban dalam aksi itu adalah Neda Agha Soltan. Ia tewas ditembak milisi Basij.
Kematian Soltan bahkan disebut menjadi simbol kebrutalan pemerintah.
Pada 2019, demo juga meletus usai bahan bakar naik. Aksi ini kemudian meluas hingga menjadi demo anti-pemerintah.
(isa/bac)