Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Prabowo Subianto menegaskan keinginan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persoalan wilayah maritim di Ambalat secara damai dan melalui iktikad baik bersama Malaysia.
Hal itu disampaikan Prabowo menanggapi penyebutan Laut Sulawesi oleh Malaysia dalam Peta Baru 1979 untuk wilayah yang oleh Indonesia dikenal sebagai Ambalat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya kita cari penyelesaian yang baik, yang damai, ada iktikad baik dari dua pihak. Kita jangan, biasalah ada mungkin. Intinya kita mau penyelesaian yang baik," ujar Prabowo usai menghadiri Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 di ITB, Bandung, Kamis (7/8).
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Malaysia Dato' Seri Mohamad Hasan menyatakan klaim negaranya atas wilayah tersebut diperkuat dengan putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2002 terkait Kepulauan Sipadan dan Ligitan.
Menurutnya, semua diskusi akan dilakukan dalam kerangka diplomatik, hukum, dan teknis. Pernyataan ini mengundang perhatian berbagai pihak di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono menilai penggunaan istilah "Laut Sulawesi" oleh Malaysia bukan sekadar masalah nama, melainkan bagian dari strategi klaim wilayah.
Ia mendorong penyelesaian berbasis hukum internasional, termasuk melalui forum ASEAN.
Apa itu Ambalat?
Ambalat adalah blok laut seluas sekitar 15.235 kilometer persegi yang terletak di perairan Laut Sulawesi atau Selat Makassar, di dekat perbatasan antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Utara, Indonesia.
Wilayah ini dinilai sangat strategis karena mengandung cadangan minyak dan gas bumi, khususnya di Blok ND6 dan ND7 yang telah diberikan konsesi oleh Malaysia kepada perusahaan migas asing, termasuk Shell.
Ambalat menjadi titik sengketa antara Indonesia dan Malaysia karena kedua negara mengeklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari yurisdiksi maritim masing-masing.
Pemerintah Indonesia secara konsisten menyebut Ambalat sebagai bagian sah dari wilayah NKRI.
Sementara itu, Malaysia menggunakan istilah Laut Sulawesi untuk menyebut wilayah yang sama dan mengklaim ND6 dan ND7 sebagai milik mereka.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Sengketa Ambalat memuncak pada awal tahun 2000-an, terutama pasca-keputusan Mahkamah Internasional pada 2002 yang memenangkan Malaysia dalam sengketa Sipadan dan Ligitan. Sejak saat itu, Malaysia semakin aktif menunjukkan klaimnya atas wilayah Ambalat.
Pada 21 Februari 2005, ketegangan memuncak saat 17 warga Indonesia ditangkap kapal perang Malaysia KD Sri Malaka di Karang Unarang, wilayah yang diklaim masuk Ambalat.
Insiden serempetan antara kapal perang juga terjadi pada 8 April 2005 antara KRI Tedong Naga dan Kapal Diraja Rencong milik Malaysia.
Untuk meredam eskalasi militer, TNI mengeluarkan kebijakan pada 21 April 2005 bahwa kapal Indonesia hanya boleh menembak jika diserang lebih dahulu.
Namun, pelanggaran tetap terjadi. Antara Januari, Juni 2009, Indonesia mencatat 13 kali pelanggaran kapal dan pesawat militer Malaysia memasuki wilayah Ambalat.
TNI merespons dengan pengerahan 130 personel marinir dan menyiagakan sejumlah kapal perang di kawasan tersebut.
Pada 25 Mei 2009, kapal perang Malaysia kembali masuk ke wilayah Ambalat sebelum akhirnya diusir oleh KRI Untung Suropati.
Ketegangan ini mendorong pernyataan keras dari Hatta Rajasa, Menteri Sekretaris Negara saat itu, bahwa Indonesia tidak akan melepas Ambalat sejengkal pun.
Meski berbagai perundingan bilateral telah digelar, hingga kini belum ada kesepakatan final antara kedua negara terkait batas maritim di Ambalat.
Klaim Malaysia dan kekhawatiran Indonesia
Malaysia dalam peta tahun 1979 mencantumkan ND6 dan ND7 sebagai bagian dari Laut Sulawesi yang diklaim masuk wilayah Sabah.
Padahal, Indonesia menyatakan wilayah tersebut merupakan bagian dari perairan Ambalat yang belum pernah disepakati secara bilateral.
Pemerintah Indonesia mengkhawatirkan bahwa penggunaan istilah "Laut Sulawesi" oleh Malaysia bisa menjadi bentuk normalisasi klaim wilayah secara sepihak.
Ambalat kini kembali menjadi sorotan setelah pernyataan resmi kedua negara yang mempertegas klaim masing-masing.
Meski belum terjadi ketegangan fisik seperti pada dekade sebelumnya, isu ini menuntut keseriusan diplomasi agar tak kembali memicu konflik terbuka di perbatasan laut Indonesia-Malaysia.