Jakarta, CNN Indonesia -- Dissociative Identity Disorder (DID) atau yang lebih dikenal dengan kepribadian ganda adalah salah satu gangguan kejiwaan. DID adalah gangguan kejiwaan yang membuat si penderita seakan memiliki beberapa kepribadian berbeda di dalam dirinya.
Menurut Glenn O. Gabbard dalam bukunya yang berjudul “Gabbard’s Treatment of Psychiatric Disorder”, DID bisa dideksprisikan sebagai perubahan drastis identitas yang ditandai oleh munculnya dua atau lebih kepribadian dalam diri seseorang. Penderita DID akan merasa memiliki lebih dari satu kepribadian dalam dirinya.
Di Indonesia mungkin kasus DID kalah popular dengan gangguan kejiwaan lain semacam Bipolar Disorder. Bipolar sendiri adalah gangguan kejiwaan di mana si penderita mengalami luapan dan perubahan emosi secara ekstrem berupa mania dan depresi.
Bipolar lebih popular karena tak sedikit selebriti dunia yang menderita tersebut. Sebut saja Demi Lovato yang sempat terang-terangan ke publik mengenai penyakit Bipolar tersebut, atau Britney Spears yang diam-diam menunjukkan gejala Bipolarnya.
DID kelihatannya memang sepele, bahkan banyak yang menganggap kepribadian ganda ini bukan masalah kejiwaan yang serius. Padahal pada tingkat tertentu, kepribadian ganda dapat mengganggu aktivitas si penderita dan menyebabkan seseorang tak dapat menjalankan perannya di kehidupan sosial sebagaimana mestinya.
Di dunia, ada contoh kepribadian ganda yang sempat menjadi perbincangan di dunia psikiatris internasional. Kimi Sands yang berasal dari Cardiff, Wales diketahui hidup dengan membawa 15 kepribadian di dalam dirinya. Kepribadian Kimi dapat berubah dalam hitungan menit hingga hari. Pergeseran identitas yang dialami wanita tersebut datang secara tiba-tiba. Dalam sehari wanita berusia 26 tahun tersebut bisa hidup dengan beberapa kepribadian berbeda.
Gabbard dalam bukunya juga menyebutkan bahwa kelainan kejiwaan ini bermula dari respon adaptif terhadap ancaman atau bahaya di mana sang penderita tidak mampu melawannya. Respon adaptif ini dilakukan oleh anak-anak karena tak ada jalan keluar lain bagi mereka dari situasi yang tak dapat mereka kendalikan.
Melihat hal tersebut, ada keterkaitan antara penderita DID dan pengalaman mereka saat kanak-kanak yang mengalami kekerasan. Kita ambil contoh, seperti yang dilaporkan oleh situs CNN Indonesia pekan lalu di Jawa Timur per September 2016 ada 600-an laporan terkait kekerasan terhadap anak. Kekerasan tersebut didominasi oleh kekerasan fisik dan kekerasan seksual.
Atau yang masih hangat, Aditya bocah asal Palembang yang ditendang ibunya hingga meninggal dunia. Pada kasus Aditya ini ada sesuatu yang melatarbelakangi kekerasan tersebut, yaitu ketidakharmonisan keluarganya. Ibu Aditya menjadikan anaknya tersebut sebagai pelampiasan emosi karena sering berseteru dengan suaminya di rumah.
Tak hanya di rumah, anak-anak pun dapat terpapar oleh kekerasan di luar rumahnya di mana mereka berinteraksi secara sosial. Sekolah dan tempat mereka bermain pun bisa menjadi sumber kekerasan yang mereka terima.
Berbeda dengan kekerasan yang dialami di dalam rumah, di luar rumah mereka cenderung menerima hal tersebut dari teman sebayanya atau temannya yang lebih tua. Mereka yang mendapatkan kekerasan di luar biasanya mengalami
bullying yang tiada henti. Hal tersebut juga disebabkan banyak anak-anak yang enggan bercerita kepada orangtua mereka mengenai apa yang terjadi pada diri mereka.
Anak-anak yang bertahan dari terpaan kekerasan tersebut tentu sedikit banyaknya akan mengalami trauma. Trauma tersebut bisa saja membekas hingga ia tumbuh dewasa dan menimbulkan luka untuk jiwanya. Anak-anak yang tidak mampu melawan keadaan, terutama yang keadaan kejiwaannya masih rapuh sangat mungkin dapat terserang kepribadian ganda.
Pada DID, penderita pada umumnya menunjukkan gejala penyakit tersebut saat mereka sudah tumbuh dewasa. Itulah mengapa sebelumnya dijelaskan bahwa DID bisa sangat menghambat peran seseorang dalam sebuah lingkungan sosial.
Pada kasus Kimi Sands kita bisa melihat bagaimana kepribadian ganda akut yang dideritanya membuatnya tak bisa melakukan aktivitas sebagaimana mestinya. Kerabat Kimi pun harus menyediakan berbagai kebutuhan dari masing-masing kepribadian yang “diderita” oleh dirinya. Pasalnya, “diri” yang hadir pada tubuh Kimi sangat beragam, sewaktu-waktu ia bisa menjadi seorang koki asal Jepang bernama Satou, kemudian dia juga bisa menjadi seorang anak kecil berusia 4 tahun, bahkan kepribadiannya dapat berubah menjadi seorang transgender berusia 15 tahun.
Sudah selayaknya, potensi gangguan kejiwaan seperti kepribadian ganda ini mulai ditanggapi secara serius. Penderita DID dapat dilihat dengan gejala perubahan sikap dan perilaku yang diiringi perubahan emosi yang drastis dari seseorang serta seseorang yang mengaku identitasnya bukanlah dirinya lagi. Berbeda dengan Bipolar Disorder yang “hanya” menunjukkan perubahan emosi yang ekstrem.
Semua pihak, terutama keluarga harus mampu mengakomodasi kebutuhan afeksi anak. Komunikasi yang terjalin secara rutin akan membuat mereka merasa nyaman dengan keluarga yang merupakan lembaga sosial primer sekaligus tempat mereka pertama kali mengalami interaksi.
Seperti halnya salah satu fungsi komunikasi sebagai sarana mengekspresikan diri, anak-anak harus dibimbing dengan komunikasi yang terus menerus dijalin oleh orangtua. Selain itu, anak-anak juga harus dibimbing dan dihindarkan dari lingkungan serta pengaruh negatif yang dapat membahayakan kejiwaannya. Dengan hal tersebut, mereka dapat menemukan jatidirinya dan kesehatan jiwanya pun akan terjaga.
(Muhammad Rizqan Alfarisi - Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, pengamat psikologi komunikasi)
(ded/ded)