Jakarta, CNN Indonesia -- Hendri Yaneppi ingin membeli bubur ayam langganannya pada pagi itu. Dia khawatir masuk angin karena semalam ikut ronda bersama warga lainnya di kelurahan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur. Hari itu, 20 Agustus 2015. Namun sarapan pagi batal didapatkan. Dia kaget melihat puluhan orang berlarian masuk ke gang-gang sempit kampung tersebut.
“Ada
apaan nih?”
“Ibu Eppi, ada gas air mata,” kata salah seorang dari mereka.
“Ini kacau, ini perang apa? Saya mau ke depan.”
“Jangan Bu Eppi, itu gas air mata.”
“Ini emang kayak mau perang. Banyak banget aparat,” kata warga lain.
Dia melihat satu alat berat mulai masuk ke kelurahan Kampung Pulo. Ada sekitar 3.000 lebih aparat gabungan diturunkan. Mulai dari Satuan Polisi Pamong Praja, Polda Metro Jaya, hingga personel TNI. Hari itu adalah hari pertama penggusuran di Kampung Pulo. Mata Yaneppi mulai perih. Rumah mulai dihancurkan satu per satu beberapa saat kemudian.
Sebagian warga melawan hingga bentrokan terjadi. Batu-batu dilemparkan. Tembakan gas air mata diletupkan. Kawasan Jalan Jatinegara Barat menjadi ramai dan macet. Kericuhan berlangsung.
Namun, Yaneppi dan sebagian warga Kampung Pulo menyadari hal tersebut sebelumnya.
Ini adalah hari yang dikhawatirkan warga kampung itu sejak dua bulan sebelum penggusuran. Mereka mendapatkan Surat Peringatan sejak Juni hingga Surat Perintah Bongkar pada awal Agustus. Ronda malam pun dijalankan.
Ini bermula saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin melakukan proyek normalisasi Kali Ciliwung pada Oktober 2012.
Ketika itu, Joko Widodo yang menjabat gubernur DKI Jakarta meminta masyarakat pindah. Yaneppi ingat janji Jokowi kala mengunjungi Kampung Pulo pada 5 tahun silam: musyawarah dengan masyarakat serta memproses ganti rugi. Namun, janji itu macam lebur oleh pengganti Jokowi—Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang memimpin Jakarta sejak Oktober 2014.
Ketika penggusuran berlangsung, sedikitnya 920 kepala keluarga terkena dampak, termasuk keluarga Yaneppi.
Yaneppi berusia 51 tahun dan bertubuh relatif kurus. Dia sempat bekerja serabutan menjajakan pakaian batik dengan cicilan dan lemari kayu saat tinggal di Kampung Pulo. Dalam sebulan, rata-rata dia menerima pendapatan kotor sekitar Rp2,25 juta.
Yaneppi juga masih menanggung dua anaknya yang masih sekolah di tingkat SMA dan SMP. Di Kampung Pulo, dia juga dipilih sebagai Ketua RT 10/RW 03 sejak 2007 lalu.
Pendapatan yang MenurunUsai penggusuran, sebagian warga secara bertahap dipindahkan ke Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Jatinegara Barat. Namun ada yang berubah dalam kehidupan mereka, termasuk Yaneppi. Dalam setahun terakhir, usaha cicilan pakaian batiknya terus menurun, namun biaya kian meningkat.
“Dulu enggak
mikirin sewa,” kata dia. “Sekarang hancur,
kemakan-makan modal.”
Yaneppi akhirnya menerima tawaran bekerja sebagai tukang cuci di sebuah laundri baru di Jalan Haji Asmawi, Beji, Depok, Jawa Barat pada Desember 2016. Upahnya Rp1,5 juta per bulan atau hampir separuh lebih kecil dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Depok yakni Rp3,2 juta.
Untuk memangkas biaya, dia memutuskan tinggal lebih sering di tempat kerja dibandingkan tinggal di Rusunawa yang didiaminya sejak November 2015—dengan masa kontrak sewa hingga November 2017 itu.
Kami bertemu di tempat kerja itu untuk pertama kali dalam wawancara pekan lalu. “Dulu tak pernah jual sepatu bekas,” kata dia. “Ibu sudah bingung.”
 Satpol PP menggunakan alat berat saat penggusuran dilakukan di Kampung Pulo. ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Penelitian LBH Jakarta pada Desember 2016 tentang hak korban penggusuran menemukan penurunan jumlah warga yang bekerja ketika mereka terpaksa pindah ke rumah susun.
Untuk yang bekerja tetap, penurunan terjadi dari 33,4 persen menjadi 29,3 persen, sementara yang tak tetap adalah 58,4 persen menjadi 57,3 persen. Survei itu dilakukan terhadap 250 orang penghuni rumah susun korban penggusuran di 18 Rusunawa di DKI Jakarta.
Lembaga tersebut mencatat terdapat 113 kasus penggusuran di Jakarta sepanjang 2015 dengan dominasi kasus pembongkaran bangunan tanpa musyawarah.
Selain penurunan pendapatan, LBH Jakarta menemukan pelbagai ongkos yang harus ditanggung para korban penggusuran: biaya tagihan air dan listrik; biaya transportasi; serta biaya sewa—termasuk Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL).
“Saya dapat surat panggilan, karena
nunggak banyak IPL dan air,” kata Yaneppi. “Tapi, saya enggak datang.”
Dengan beban yang meningkat, perempuan macam Yaneppi berisiko terperosok kembali ke jurang kemiskinan.
Bank Dunia menyebutkan kategori miskin adalah orang dengan pendapatan sekitar Rp40 ribu, sedangkan miskin ekstrem adalah di bawah Rp25 ribu. Perempuan, demikian Bank Dunia, juga seringkali jadi sosok yang tertinggal karena manfaat pembangunan tak setara.
Ketimpangan UpahRiset bersama Oxfam Indonesia—International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) tentang ketimpangan ekonomi pada Februari lalu menyatakan perempuan memeroleh bayaran lebih rendah dibandingkan pria serta rentan miskin.
Laporan itu menyatakan ketimpangan upah antar gender—akibat pandangan bias terhadap perempuan dan tingkat pendidikan—mencapai 14,5 persen. Ini berarti, rata-rata pendapatan perempuan lebih rendah 14,5 persen dibandingkan pria.
Perbedaan itu bahkan jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan Thailand yakni 2,8 persen dan Malaysia, 3,9 persen.
Usai wawancara di Depok, CNNIndonesia.com mengikuti Yaneppi bersama si bungsu Vito, mengunjungi Rusunawa Jatinegara Barat dan ke Kelurahan Kampung Pulo, Jakarta Timur. Yaneppi berjumpa kembali dengan sejumlah tetangganya. Dari pengendara ojek, pedagang soto, tukang servis alat elektronik, hingga ibu rumah tangga.
 Pendapatan Hendri Yaneppi kian tak menentu setelah dirinya tinggal di rusun usai penggusuran terjadi pada 2015. ( CNN Indonesia/Anugerah Perkasa) |
“Jual di rusun, usaha mati,” kata Iwan Setiawan, pedagang soto. “Di trotoar, diusir Satpol PP.”
“Di Kampung Pulo, istilahnya kita bisa
nyender,” kata Gunawan, tukang servis alat elektronik. “Di sini,
nyervis TV tapi enggak bisa nebus. Di sini kan orang kecil semua.”
Gunawan, Iwan dan Yaneppi termasuk ke dalam 5, 56 juta pemilih yang mencoblos pada pemilihan pemimpin ibu kota, 15 Februari lalu.
Diketahui, ada tiga pasangan kandidat untuk menjadi pemimpin DKI Jakarta 2017-2022: Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni; Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat; serta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Walaupun pemilihan terjadi di DKI Jakarta, para pemimpin partai yang sempat menjadi kandidat presiden-wakil presiden periode 2009, ikut turun gunung, guna mendukung jagoan mereka. Mulai dari Megawati Soekarnoputri hingga Prabowo Subianto.
 Iwan Gunawan kesulitan mendapatkan modal usaha untuk menjajakan sotonya kembali. ( CNN Indonesia/Anugerah Perkasa) |
Pada putaran pertama, Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta mengumumkan kemenangan perolehan suara sementara untuk pasangan Basuki-Djarot yakni 42 persen; Anies-Sandi 39 persen; dan AHY-Sylvi 17 persen. Ini artinya, pemungutan suara akan kembali digelar pada 15 April 2017, karena tak ada yang mencapai lebih dari 50 persen suara.
"Jakarta ini kan beda dengan daerah yang lain,” kata Megawati dalam satu jumpa pers pada Februari. “Saya sudah perintahkan untuk mengamankan suara di putaran kedua.”
“Kalau kalian ingin saya jadi presiden di 2019, kalian harus memenangkan Anies-Sandi menjadi gubernur dan wakil gubernur,” kata Prabowo dalam orasinya. “Kalian harus kerja keras.”
Lobi politik pun terus dilakukan.
Ketiga partai pendukung pasangan AHY-Sylvi yakni PPP, PAN dan PKB kemungkinan besar mendukung pasangan Anies-Sandi, yang dicalonkan Partai Gerindra dan PKS. Sementara pasangan Ahok-Djarot masih didukung oleh PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasional Demokrat, serta Partai Hanura.
Pada putaran kedua kelak, warga hanya bisa memilih pasangan Ahok-Djarot serta Anies-Sandi—atau bahkan, tak mencoblos.
“Kami menawarkan modal usaha dengan bagi hasil,” kata Ahok dalam acara Debat Publik soal ketimpangan ekonomi, Januari lalu. “Dikurangi biaya, yang kerja dapat 80 persen.”
“Kami ingin menghadirkan 44 pusat pertumbuhan ekonomi di Jakarta yang akan menumbuhkan lapangan pekerjaan,” kata Anies dalam acara serupa. “Ini lebih sekadar menumbuhkan wirausaha, tapi menumbuhkan ekonomi.”
[Gambas:Video CNN]Penimbunan Harta KekayaanTetapi, Ahok dan Anies tak sempat menyinggung soal penimbunan harta segelintir kelompok super kaya.
“Pembangunan di DKI Jakarta masih meminggirkan orang lemah dan miskin,” kata Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta. “Kota hanya ramah terhadap orang kelas menengah ke atas.”
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengakui soal ini. Dia menyebutkan 1 persen kelompok super kaya—sebagian besar berada di Jakarta—turut menyumbang terjadinya ketidaksetaraan. Menurutnya, hal tersebut harus dikoreksi dengan upaya perpajakan.
Walaupun demikian, rasio Gini—indikator terjadinya ketimpangan—telah menunjukkan perbaikan yakni 0,39 pada Maret 2016, dari sebelumnya 0,41 sepanjang 5 tahun terakhir.
“Ini menjadi koreksi terhadap
high wealth concentration, tentu berhubungan dengan perpajakan,” kata Mulyani. “Yang paling sulit adalah mengenai
ability to collect. Apalagi, saat orang melakukan penyembunyian aset.”
Laporan bersama Oxfam Indonesia-Infid menyatakan kelompok super kaya menimbun kekayaannya melalui bisnis kelapa sawit, batu bara dan mineral, multimedia, teknologi informasi hingga keuangan dalam 15 tahun terakhir.
Imbasnya, Jumlah miliarder pun meningkat. Pada 2002, hanya ada satu individu super kaya, namun akhirnya melonjak menjadi 20 individu super kaya pada 2016.
Riset itu mengingatkan, peningkatan jumlah orang super kaya di tengah-tengah meluasnya kemiskinan dapat berakibat pada kekerasan sosial. Dua organisasi tersebut juga memperkirakan jika kondisi ketimpangan tak berubah, maka sekitar 13 juta penduduk lagi jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem pada 2019.
“Kelompok kayalah yang meraup manfaat dari kinerja ekonomi Indonesia yang banyak digembar-gemborkan,” kata Sugeng Bahagijo, Direktur Eksekutif Infid. “Sementara jutaan kalangan bawah dibiarkan tertinggal di belakang.”
Kekayaan Karena KronismeRiset bersama itu juga menyatakan ledakan ekonomi berbasis komoditas—kelapa sawit, minyak, batu bara dan mineral—dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan peluang pengerukan keuntungan.
Ini yang sempat dilakukan pemerintah Orde Baru saat berkuasa selama 30 tahun. Memberikan pelbagai kemudahan bagi kelompok yang dekat dengan Presiden Soeharto: dari konsesi, pinjaman, lisensi impor hingga dana talangan.
Walaupun demikian, sebagian besar sektor industri penyumbang kekayaan miliarder saat ini pun berkelindan dengan kronisme.
Industri yang dimaksud di antaranya adalah pertanian (menyumbang sekitar 15 persen kekayaan); pertambangan dan migas (menyumbang 16 persen kekayaan); manufaktur (menyumbang 14 persen kekayaan); ritel (menyumbang sekitar 3 persen kekayaan); jasa keuangan (menyumbang 36 persen kekayaan); serta properti (sekitar 2 persen menyumbang terhadap kekayaan).
“Sikap terbaik Jokowi adalah mengatakan tidak kepada orang kaya yang berpengaruh,” kata Deepak L. Xavier, dari Oxfam International. “Ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya.” Mungkin, ini waktu yang tepat pula melihat apa yang terjadi pada korban penggusuran dari Kampung Pulo.
Ada Gunawan yang kehilangan pelanggan untuk jasa perbaikan perangkat elektroniknya. Iwan Setiawan yang terpaksa meminjam uang dari rentenir untuk modal dagang sotonya. Dan Hendri Yaneppi, dengan beban lebih berat dibandingkan dengan kehidupan sebelum pindah ke Rusunawa Jatinegara Barat.
“Yang bilang enak tinggal di rusun, berantem sama saya,” kata Gunawan.
“Kayak kendaraan taksi
aje,” kata Iwan. “Tahu sendiri naik taksi, buka pintu ada argonya. Kami mikir ke situ tiap
bulannye.”
 Sebagian warga Kampung Pulo menagih janji Joko Widodo saat menjadi gubernur DKI Jakarta pada 2012 lalu, sebelum penggusuran dilakukan. ( CNN Indonesia/Anugerah Perkasa) |
Sebagian korban terus mempertanyakan janji Jokowi saat bertemu mereka, hampir lima tahun silam. Dari sosok yang dahulu sebagai gubernur DKI Jakarta, hingga Jokowi sebagai presiden. Nasib mereka, macam pelanduk yang mati di tengah-tengah pertarungan dua gajah atau lebih.
Tetapi kali ini, Jokowi bisa jadi masih memikirkan hal lain.
Dia menginginkan Indonesia justru mampu menunjukkan kondisi perekonomian—yang tak terpuruk—saat menjadi tuan rumah pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia pada 2018 kelak.
“Pertemuan ini,” demikian Jokowi saat memimpin Rapat Terbatas akhir Februari, “Sebagai momentum untuk menunjukkan pada dunia tentang kondisi perekonomian Indonesia yang bisa tumbuh.”
Keinginan itu bisa jadi, tak akan bergema di gang-gang kecil dan rumah-rumah yang berhimpitan di Kampung Pulo. Juga, di sudut-sudut Rusunawa Jatinegara Barat.
“Kalau tahun ini kami diusir,” kata Hendri Yaneppi, “Mau tinggal di mana?”