Bingungkan Pusat dan Daerah, UU Konflik Sosial Digugat

CNN Indonesia
Senin, 25 Agu 2014 16:39 WIB
UU Konflik Sosial menyebut bupati atau wali kota berhak menentukan status darurat konflik dalam lingkup kabupaten/kota, sedangkan UU lain menyebut status darurat merupakan kewenangan presiden.
Ifdhal Kasim di sidang MK. (detikfoto/Andi Saputra)
Jakarta, CNN Indonesia --

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Human Rights Working Group (HRWG) mengajukan uji materi atas Undang-Undang Konflik Sosial. Pasal yang digugat terkait dualisme penentuan status darurat konflik sosial.

Ini berbahaya. Kalau nanti terjadi satu skala konflik sosial yang tinggi di derah, kepala daerah dan pemerintah pusat akan bingung,” kata saksi ahli Ifdhal Kasim kepada CNNIndonesia seusai persidangan uji materi UU Konflik Sosial di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (25/8).

Berdasar Pasal 16 dan 26 UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Konflik Sosial, bupati atau wali kota berhak menentukan status darurat konflik dalam lingkup kabupaten/kota setelah berunding dengan lembaga legislatif di daerah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal tersebut bertentangan dengan UU Nomor 23/PRP/1959 terkait keadaan darurat yang memberikan kewenangan otoritatif kepada presiden untuk menetapkan status darurat. Dalam UU tersebut, kepala daerah hanya berhak untuk memberikan masukan terkait kondisi di daerahnya.

Ihwal mekanismenya, ujar Ifdhal dalam persidangan, penentuan status darurat seharusnya melalui aklamasi atau pernyataan presiden. Pernyataan tersebut dengan mempertimbangkan ruang lingkup, wilayah, batasan waktu, dan dampak keadaan darurat.

Konsekuensi berbahaya karena keadaan darurat membolehkan pengurangan hak, misalnya menyatakan pendapat, berkumpul, dan mencari informasi. Dibutuhkan otoritas yang jelas. Kalau UU '59, itu kewenangan presiden,” kata Ketua Komnas HAM tersebut.

Saksi ahli lainnya, Mayjend TNI Purn. Agus Widjojo mengatakan dalam keadaan darurat sipil, TNI masih di bawah otoritas pemerintah pusat.

“Walaupun ada di daerah, pada dasarnya TNI punya presiden dan bertindak berdasarkan perintah otoritas politik. Kepala daerah tidak bisa meminta TNI bertindak,” ucap Agus.

Dalam sidang kelima yang digelar MK tersebut, Hakim Ketua Hamdan Zoelva mempersilakan kedua saksi ahli tersebut untuk memberikan pendapatnya. Namun keterangan mereka belum cukup untuk memutuskan vonis.

Kami akan hadirkan saksi TNI/Polri lain dalam sidang berikutnya, Selasa 9 September pukul 14.00 WIB,” ujar hakim ketua Hamdan Zoelva menutup persidangan.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER