Jakarta, CNN Indonesia -- Pemberantasan korupsi masih terus menjadi agenda utama di Indonesia dalam skala nasional hingga ke pelosok desa. Proses pengungkapan kasusnya panjang, terjal, dan penuh tekanan. Komisi Pemberantasan Korupsi membuat sejumlah aturan ketat yang mengikat mulai dari pimpinan hingga staf di level paling bawah.
Bagi mantan Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Rianto, menjadi pimpinan lembaga antikorupsi membuatnya menjadi kurang pergaulan alias kuper. "Nggak bisa bergaul lagi, nggak bisa makan bareng lagi sama teman-teman dekat," kata Bibit saat berbincang dengan CNNIndonesia di Jakarta, Jumat (5/9).
Menurut Bibit, kondisi tersebut sebenarnya membuat dia kehilangan teman. Tetapi itu merupakan salah satu konsekuensi yang sudah dipikirkan sejak mendaftarkan diri untuk memimpin KPK periode 2007-2011. Karena bagi lembaga antikorupsi itu, melakukan pertemuan dengan teman juga bisa menjadi blunder di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di KPK tidak bisa asal ketemu karena di sini orang-orang bermasalah kan mau dekat-dekat, biar aman," ceritanya.
Selain pergaulan menjadi terbatas, purnawirawan Polri berbintang dua ini juga merasakan tekanan psikologis dan politis yang luar biasa saat sedang menyelidik, menyidik, maupun menuntut kasus korupsi. Dia mencontohkan sejumlah pejabat yang berteriak antikorupsi saat di atas panggung. "Tapi di belakang mereka memelas 'Yang itu tolong jangan ditahan ya, Pak'. Ada yang seperti itu," ujar Bibit.
Nuansa politik dan intervensi dalam proses pengusutan perkara sangat besar karena para pelaku adalah pejabat negara yang punya kuasa. "Tapi aku nggak mau kasih contoh. Tapi (tekanan) pasti dirasakan oleh teman-teman pimpinan KPK," tuturnya.
Di antara sekian banyak kasus yang ditangani Bibit selama berkantor di KPK, ada satu kasus yang tak akan pernah dia lupakan seumur hidup. Selasa malam tanggal 15 September 2009, Bibit bersama rekannya Chandra Martha Hamzah ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri. Keduanya dituding menyalahgunakan wewenang dalam memproses sebuah kasus korupsi.
Kasus itu juga memunculkan perseteruan di antara KPK dan Polri yang dikenal dengan istilah Cicak vs Buaya. Dukungan kuat dari seluruh masyarakat yang turun ke jalan memang mengembalikan nama baik Bibit-Chandra dengan dihentikannya penuntutan atas mereka. "Tapi saya waktu itu stres juga, fisik saya ternyata nggak tahan sampai saya masuk rumah sakit lagi karena jantung kena," mantan Kapolda Kalimantan Timur ini mengenang.
Selain kesedihan dan tekanan, Bibit juga merasakan kesenangan. "Enaknya apa ya? Mungkin gajinya lebih gede, dapat Rp 60 juta per bulan," katanya tertawa.
Bukan hanya itu, Bibit juga merasa menjadi sangat populer sejak perseteruan antara Cicak versus Buaya. Bahkan Bibit masih merasakan imbas dari kasus tersebut hingga sekarang. Masyarakat yang bertemu Bibit di tempat umum memintanya untuk berfoto. "Sampai sekarang masih. Di lift, turun dari pesawat, bahkan pernah saya dikejar-kejar tukang bubur untuk minta foto," ujarnya.
Dari semua pengalaman yang dia rasakan selama menjabat pimpinan KPK, Bibit mengaku tak pernah menyesal masuk ke lembaga antikorupsi tersebut. Dia juga tak pernah mengkhawatirkan keselamatan jiwanya. "Saya hanya takut sama Allah. Saya dibekali senjata nggak pernah saya bawa. Karena kalau peluru hilang satu kan (bikin) berita acara jadinya," katanya berkelakar.