Jakarta, CNN Indonesia -- Auditorium Puri Agung Hotel Sahid nyaris penuh, Kamis (11/9) siang. Sekitar 100 orang duduk rapih dan sesekali tampak gelisah. Di panggung di hadapan mereka duduk Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Samosir Mangidar, dan beberapa pembicara.
Siang itu, kesejukan auditorium terasa pudar, ketika orasi-orasi mulai terdengar. "Tolak RUU Pilkada!", orang-orang itu berseru. Mereka mengacung-acungkan sejumlah karton berisi tulisan protes.
Bukan. Mereka bukan pengunjuk rasa biasa. Mereka adalah para wali kota dan bupati dari ratusan kota dan kabupaten di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siang itu para pemimpin satu suara: menolak rancangan undang-undang Pemilihan Kepala Daerah yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Beleid itu akan mengembalikan pesta demokrasi ke zaman orde baru: bupati, wali kota, dan gubernur akan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Beleid ini disokong oleh para anggota DPR dari partai koalisi Merah Putih, yang gagal mengantarkan jagoan mereka: pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ke kursi presiden dan wakil presiden Indonesia.
Lucunya, ketentuan soal pemilihan kepala daerah oleh DPRD awalnya disodorkan oleh pemerintah. Mayoritas fraksi di DPR menolak, termasuk PDI Perjuangan.
Tapi kekalahan di pemilihan presiden mengubah konstelasi politik. PDI Perjuangan yang tetap bertahan dengan sikapnya ditinggalkan. Isi beleid diubah. Salah satunya mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Sebanyak enam dari sembilan fraksi di DPR RI pada rapat Panja Komisi II Selasa (9/9) lalu mendukung ketentuan kontroversial itu. Alasannya, pemilihan langsung berbiaya mahal, rentan konflik horizontal dan politik uang.
Sikap ini sontak menimbulkan resistensi dari berbagai pihak, terutama dari berbagai kepala daerah. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, yang tak lama lagi dilantik sebagai Presiden RI dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terang-terangan menolak ketentuan itu.
Ahok sampai mengundurkan diri dari Partai Gerakan Indonesia Raya, partai motor koalisi Merah Putih yang dipimpin Prabowo Subianto. Hari ini, Kamis (11/9) giliran ratusan kepala daerah yang berkumpul di Sahid itu.
Curhat di Rapat yang Tak BiasaPertemuan di Sahid adalah rapat tak biasa yang digelar oleh Asosisasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi).
"Kami melakukan koordinasi dan kami sepakat, 510 kepala daerah mendukung untuk tetap pemilihan langsung," kata Bupati Kutai Kertanegara Isran Noor yang juga ketua Apkasi.
Ridwan Kamil sempat agak "memprovokasi" rekan-rekannya untuk turun ke Bundaran Hotel Indonesia dan berunjuk rasa di sana. Tapi polisi tak mengizinkan.
Emil, begitu sang wali kota akrab dipanggil, mengatakan RUU Pilkada itu membuat dirinya dan para kepala daerah sebagai obyek penderita. Dia khawatir kebijakan kepala daerah sulit diambil dan akhirnya, rakyat yang jadi korban.
"Sanksi partai itu urusan ke sekian, saya mau mengeluarkan dulu uneg-uneg, pikiran dan perasaan saya dan rakyat," katanya, emosional.
Wali Kota Bogor Bima Arya terlambat datang. Tapi lelaki ini langsung berkoar. "Siap nih sekarang langsung (demonstrasi) ke HI," katanya. Dia mempertanyakan harapan dan nasib rakyat jika pemilihan pemimpinnya diserahkan kepada anggota DPRD.
Bima Arya bilang, hari ini juga dirinya akan meluncur ke kantor DPP Partai Amanat Nasional, partai yang mengusungnya di Bogor. "Untuk membahas isu yang dapat memangkas demokrasi ini," katanya.
Bupati Solok Syamsu Rahim pun mencurahkan isi hatinya. Lelaki ini bilang pernah diolok-olok anggota DPRD karena tidak mampu membayar Rp 250 juta untuk menggolkan suatu kebijakan.
Dia mensinyalir, kepala daerah hanya akan menjadi ATM bagi anggota DPRD jika pemilihan dikembalikan ke DPRD. Syamsu rela dipecat sebagai kader Partai Golkar jika sikapnya itu dipersoalkan partai beringin.
"Saya dilahirkan dari koalisi yang ada sekarang (Merah Putih), tapi saya menolak itu," kata Syamsu, disambut tepuk tangan para kepala daerah di hotel itu.
Beleid dengan Delapan Kelemahan
Pakar hukum tata negara Refly Harun menjelaskan ada delapan kelemahan RUU Pilkada. RUU ini bisa memicu kemarahan rakyat, tidak konsisten dalam sistem negara presidensial, dan DPRD akan merasa memiliki posisi yang lebih tinggi dari kepala daerah.
Berikutnya, kata Refly, terjadinya politik uang akan sulit diungkap termasuk dijadikannya kepala daerah sebagai sapi perah. Lalu tertutupnya peluang bagi calon dari kalangan independen untuk ikut berkontestasi dalam pemilihan.
RUU ini pun, menurut Refly, bertentangan dengan demokrasi dan memunculkan fenomena elite daerah yang dipesan dari Jakarta. "Ini berbahaya, dan saya akan siap menggugatnya ke MK. Ini berpotensi terjadi resentralisasi," katanya.
Dalam tafsiran UUD RI 1945 Pasal 18, setidaknya beberapa kata kunci seperti kedaulatan rakyat dan pemilihan demokratis mengindikasikan penafsiran sistematis yang berujung pada pemilihan langsung. Selain itu, terkait dengan otonomi daerah dan sistem pemerintahan presidensial memperkuat argumen bahwa negara wajib memberikan hak demokrasi memilih pemimpinnya langsung.
Pertemuan di auditorium Sahid itu akhirnya membuahkan lima rekomendasi. Pertama, menolak secara tegas pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Kedua, sepakat perlu adanya perubahan sistem pilkada dengan pertimbangan filosofis, yuridis, sosiolofis, politis dan praktis. Ketiga, sepakat pilkada dilaksanakan satu paket dengan wakilnya. Keempat, jika mayoritas partai di DPR RI tidak berubah, Apkasi dan Apeksi meminta pemerintah untuk menarik diri dalam proses pembahasan. Kelima, selanjutnya jika sistem pemilihan dengan DPRD tidak ada perubahan maka selanjutnya Apkasi dan Apkesi akan melakukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi.