Jakarta, CNN Indonesia -- Persidangan lanjutan untuk terdakwa korupsi Bupati Biak Numfor memunculkan sejumlah fakta menarik. Direktur PT Papua Indah Perkasa Teddy Renyut bersaksi bahwa dirinya diancam oleh Staf Khusus Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal Sabilillah Ardi untuk mengongkosi perjalanan Menteri ke luar negeri.
"Ardi meminta saya secara lisan dan mengancam kalau saya tidak membantu beliau, beliau melepas tangan," kata Teddy saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (15/9).
Teddy mengakui merogoh kocek untuk membiayai perjalanan Menteri PDT Helmy Faishal Zaini dan istrinya ke luar negeri. Sebelumnya Jaksa membacakan Berita Acara Pemeriksaan Teddy saat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada dana yang mengalir ke Kementerian PDT? Saudara saksi memberikan uang Rp 290 juta kepada Ardi untuk membayar perjalanan Menteri PDT ke luar negeri?" tanya jaksa dalam persidangan.
Teddy membenarkan berita acara yang dibacakan jaksa. "Tetapi saya baru tahu setelah penyidikan, itu (tiket perjalanan) atas nama Menteri Faisal dan istri," jawab Teddy.
Teddy tertangkap penyidik KPK setelah memberi uang Sin$ 100 ribu kepada Bupati Biak Numfor, Yesaya Sombuk, 26 Juni 2014. Duit diberikan agar mendapat proyek pengadaan tanggul. Berdasarkan penuturan istri Teddy, Spriti Haryani, Teddy telah membagikan duit Rp 10 miliar kepada staf di Kementerian PDT Adit dan Muamin untuk mendapat proyek di kementerian tersebut.
Setelah ditangkap, Teddy meminta Spriti menemui Adit dan Muamin untuk mengambil kembali uang tersebut. "Mereka baru membayar Rp 1,2 miliar dari Rp 10 miliar yang sudah diberikan suami saya," kata Spriti saat bersaksi untuk Bupati Yesaya di Pengadilan Tipikor, Senin (1/9).
"Kata suami saya, itu uang untuk ijon proyek. Untuk lobi pekerjaan," ujar Spriti menjawab pertanyaan Majelis Hakim Tipikor saat itu.
Selain Yesasa, Teddy juga didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Subsider Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat 1 KUHP dengan ancaman maksimal lima tahun penjara.