Jakarta, CNN Indonesia -- Pengacara Anas Urbaningrum, Firman Wijaya mengatakan telah terjadi
error enjudgment dari tuntutan yang dilayangkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap kliennya. Menurut Firman, inti pembelaan yang bakal dibacakan kliennya nanti akan berangkat dari sanggahan terhadap dakwaan yang menyebut Anas sebagai penyelenggara negara telah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
"Tuduhan itu tidak terbukti secara meyakinkan. Ujung-ujungnya jadi ada pergeseran lagi, menjadi istilah korupsi politik atau pencabutan hak politik, yang sebenarnya secara substansi tidak ada dalam surat dakwaan," tuding Firman saat mendatangi gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (18/9).
Firman mengatakan kualifikasi Anas sebagai
persona studi Persona standi in judicio Anas sebagai penyelenggara negara tidak memenuhi syarat. Selain itu, kaitan Anas dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam proyek Hambalang dinilai jauh dari fakta yang ada. "Itu bisa dilihat dari kesaksian yang meringankan Mas Anas selama persidangan," kata Firman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Firman, pencucian duit biasanya ditandai dengan adanya penyamaran transaksi yang mencurigakan. Sementara Anas, kata Firman, melakukan semua transaksi dengan terang benderang menyangkut asetnya.
"Motif kriminal itu harusnya ada upaya penyamaran kepemilikan dan keuntungan yang ingin didapat. TPPU ini arah kecenderungannya untuk kepentingan bisnis. Tapi ini kan tidak. Aset yang dicurigai TPPU bentuknya malah pesantren, untuk kepentingan sosial. Itu pun bukan milik Anas," papar Firman.
Firman pun mengatakan selama persidangan, satu-satunya kesaksian yang memberatkan keluar dari mulut Muhammad Nazaruddin. Kesaksian tunggal justru menjadi rujukan Jaksa untuk menuntut kliennya.
Sepanjang persidangan, kata Firman, majelis hakim Tipikor yang dipimpin Haswandi tidak menemukan adanya sifat urgensi dan unsur faktual dari kesaksian Nazar, malah justru bertolak belakang. "Maka sifat
Unus Testis Nullus Testis Nazar hanya berlaku untuk dirinya," tambahnya.
Firman menegaskan Permai Grup dan PT Anugerah tidak ada sangkut pautnya dengan Anas karena kedua perusahaan yanh diperkarakan itu sepenuhnya milik Nazar. Dia pun menghendaki sita jaminan kedua perusahaan terawbut agar semua permasalahan terungkap.
Firman memandang telah terjadi indikasi keragu-raguan atau in dubio pro reo dari majelis hakim. "Kalau ragu-ragu dengan dakwaan, kenapa tidak berani langsung membebaskan Anas. Ini kan katanya searching for the truth, pencarian kebenaran. Pengadilan ini penegak keadillan," kata Firman.
Anas dituntut 15 tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang berdasar fakta persidangan yang dikemukakan oleh saksi dan bukti-bukti persidangan.
Selain tuntutan penjara 15 tahun, Anas diharuskan membayar denda 500 juta dan subsider kurungan lima bulan. Yudi mengatakan tuntutan tidak maksimal karena ada beberapa pertimbangan meringankan yang membuat Anas dituntut selama 15. Pertimbangan yang meringankan itu di antaranya Anas bersikap sopan selama persidangan, pernah mendapatkan bintang jasa dari presiden, dan memiliki tanggungan keluarga.
Hasil tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut terhadap Anas tersebut berdasarkan pada tiga dakwaan utama. Anas dianggap terbukti bersalah atas dakwaan-dakwaan tersebut.
Pada dakwaan pertama, Anas didakwa menerima gratifikasi dari proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Sebagai penyelenggara negara, Anas tidak dizinkan secara hukum menerima gratifikasi atau hadiah yang berpengaruh pada posisi jabatannya.
Gratifikasi tersebut berupa satu unit mobil Toyota Harrier dan satu unit mobil Toyota Vellfire dengan nomor polisi B 69 AUD senilai Rp 735 juta rupiah. Dia didakwa menerima hadiah kegiatan survei pemenangan Anas dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) senilai sekitar Rp 478 juta. Dakwaan lain yakni uang sejumlah Rp 116 miliar dan sekitar USD 5 juta.
Selain itu, Anas didakwa menerima uang Rp 84 miliar dan USD 36 ribu dari Muhammad Nazaruddin, pemilik Permai Group. Uang tersebut digunakan untuk keperluan persiapan pencalonan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Uang diberikan Nazar sebagai bentuk hadiah kepada Anas atas keterlibatannya memuluskan pengerjaan proyek P3SON tersebut.
Atas tindak pidana tersebut, Anas dijerat pasal berlapis. Anas dinilai melanggar pasal 12 huruf a dan pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara untuk dakwaan kedua, Anas dinyatakan terbukti menerima menggunakan uang sebesar Rp 20,8 miliar untuk membeli sejumlah bidang tanah di Jakarta dan Yogyakarta. Tanah-tanah yang dibeli oleh Anas diduga merupakan bentuk tindak pidana pencucian uang untuk menyamarkan atau menyembunyikan harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi.
Tanah-tanah yang dibeli Anas diantaranya milik Reny Sari Kurniasih yang terletak di daerah Teluk Semangka, Duren Sawit, Jakarta Timur seharga Rp 690 juta.Pada 20 Juli 2011, Anas melalui mertuanya Attabik Ali membeli tanah di Mantrijeron, Yogyakarta seharga Rp 15,7 miliar. Sementara pada 29 Februari 2012, Anas melalui kakak iparnya Dina Zad membeli tanah di Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta senilai Rp 600 juta. Pada 30 Maret 2013, Anas melalui Attabik Ali juga membeli tanah di Desa/Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi D.I. Yogyakarta seharga Rp 350 juta.
Atas tindak pidana tersebut, dalam dakwaan kedua, Anas dijerat pasal 3 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang dengan ancaman 20 penjara dan denda Rp 20 miliar.
Dalam dakwaan ketiga, Anas didakwa membayarkan uang senilai Rp 3 Miliar yang didapat dari Permai Grup untuk pengurusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kota Jaya dengan lahan seluas 5.000-10.000 hektar di Kutai Timur. Perusahaan itu diduga didirikan untuk menyamarkan atau menyembunyikan harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi.
Anas dianggap melanggar pasal 3 ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.