Jakarta, CNN Indonesia -- Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang proyek Hambalang, Anas Urbaningrum, mengatakan awal mula dari perkara yang menjeratnya adalah dinamika internal Partai Demokrat sejak penyelenggaraan Kongres ke-2 di Bandung. Anas menuding Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bersikap objektif karena tidak melibatkan pihak yang bertanggung jawab dalam Kongres.
Menurut Anas, siapa pun yang mengerti tentang penyelenggaran Kongres pasti melihat Panitia Pengarah sebagai pihak yang paling paham tentang seluruh rangkaian acara dan bagaimana penyelenggaraannya. "Tentu yang dimaksudkan adalah ketuanya, yang tak lain Edhi Baskoro Yudhoyono," kata Anas saat membacakan nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (18/9) petang.
Merujuk pada tuntutan JPU, Anas dituding mendapat sejumlah aliran duit dan hadiah dari Permai Grup milik Muhammad Nazaruddin terkait proyek yang didanai APBN. Uang tersebut diduga telah digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para pendukung Anas saat kongres di Bandung, pembiayaan posko tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah, serta pemberian uang saku, uang operasional, dan '
entertainment'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anas berdalih pembiayaan kepanitiaan dan pemenangan dari setiap kelompok kontestan sudah diatur dalam sistem dan kelembagaan Partai Demokrat. Anas mengatakan tidak ada perbedaan yang substansial dan signifikan dengan yang dilakukan oleh tim pemenangannya. "Bahkan internal Partai Demokrat, dan masyarakat saat itu bisa melihat, ada calon Ketua Umum (kontestan) yang jauh lebih gebyar proses penggalangan dan metode pemenangannya," kata Anas.
Anas merasa telah menjadi korban politik karena JPU hanya menyasar dirinya yang ketika itu dianggap sebagai penyelenggara negara. Padahal, kata Anas, ketika itu ada presiden, menteri, anggota DPR, Gubernur, Bupati, dan anggota DPRD yang juga turut menerima fasilitas, manfaat, dan hasil langsung dari penyelenggaraan dan kompetisi Kongres.
"Kalau yang disasar hanya satu orang kontestan, apalagi secara khusus dicari-cari dan dipaksakan kesalahan secara hukum pidana korupsi politik, tentu hal ini tak lain dan tak bukan adalah politik," kata Anas.
Bekas ketua umum partai berlambang Mercy itu menganggap semua jalannya persidangan tidak lebih dari seremonial yang sudah ditetapkan tuntutannya. Dari awal, kata Anas, KPK sudah mengatakan bakal memberikan tuntutan maksimal. "Padahal saat itu belum ada dakwaan, persidangan, saksi, dan bukti-bukti. Ini di luar nalar," kata Anas.
Menambahi pernyataan Anas, Kuasa hukum Firman Wijaya beranggapan telah terjadi ketidaksamaan perlakuan yang diberikan kepada kliennya selama persidangan berlangsung. Menurutnya, posisi Ibas sebagai
Steering Commitee memiliki peran yang sangat besar. "Sidang ini menunjukkan ketidaksamaan perlakuan. Mas Anas menyebut nama itu (Ibas) karena dia paham bahwa SC adalah orang yang paling tahu tentang kongres. Artinya, SC juga punya tanggung jawab dalam kasus ini," tegasnya.