Banyak Kejanggalan dalam Vonis Anas

CNN Indonesia
Sabtu, 20 Sep 2014 12:16 WIB
Kuasa hukum Anas Urbaningrum merasa terlalu banyak kejanggalan dan keanehan selama proses hukum Anas. Padahal, proses sudah menjelang pembacaan vonis.
Anas urbaninggrum di Pelantikan Majelis Nasional KAHMI periode 2012-2017. (foto: Hasan Alhabshy/detikcom)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum Anas Urbaningrum, Patra M. Zen, memastikan ada banyak kejanggalan yang terjadi selama proses hukum dilakukan kepada kliennya. Salah satunya adalah tuntutan yang diajukan oleh Jaksa, yang hanya berdasarkan kesaksian dari Nazarudin.

Menurutnya, kesaksian Nazar yang menyebutkan Anas sebagai pemilik Permai Group adalah sebuah kekeliruan yang mendasar. "Dalam putusan Tengku Bagus dan Angelina Sondakh, telah dijelaskan bahwa pemilik Anugerah dan Permai group adalah Nazaruddin. Artinya, gugur semua basis dakwaan Anas untuk main proyek dan dianggap punya kantong-kantong dana perusahaan," kata Patra dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya bertajuk Menanti Vonis Anas di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (20/9).

Keanehan lainnya, dipaparkan Patra, adalah tentang keabsahan surat perintah penyidikan yang tidak ditandatangani oleh seluruh pimpinan KPK. Terlebih lagi, pada saat wakil pimpinan KPK Adnan Pandu Praja menarik tanda tangannya, lantaran belum dilangsungkan gelar perkara, pada 8 Februari 2013, silam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak hanya itu, Patra juga menanyakan alat bukti yang digunakan Jaksa, yang dapat menuntut Anas. Padahal, jaksa penuntut umum mengatakan tuntutan kepada Anas tertuang dalam 1700 halaman. "Alat bukti apa yang dia gunakan untuk menuntut seseorang? Mereka selama ini menuntut Anas dari keterangan Nazaruddin, dan orang-orang yang sudah dipengaruhi oleh dia," ujarnya.

Begitupun dengan satu unit mobil Harrier, yang dituduhkan kepada Anas sebagai bentuk gratifikasi yang telah diterimanya. Patra menegaskan, mobil tersebut dibeli oleh Anas dengan uang miliknya, dan transaksi pembelian mobil terjadi sebelum Anas dilantik sebagai pejabat negara pada 10 Oktober 2009, lalu.

"Ahli pidana menyatakan, tidak bisa seseorang dikenakan pasal 11 dan 12 (UU Tindak Pidana Korupsi) sebelum ada kewenangan yang melekat padanya," ucap Patra. Bantahan tersebut, menurutnya mengugurkan seluruh dakwaan jaksa sehingga tuntutan 15 tahun penjara tak lagi berdasar.

Merujuk pada berkas tuntutan jaksa, Anas dinilai terbukti menerima gratifikasi dari proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Sebagai penyelenggara negara, Anas tidak dizinkan secara hukum menerima gratifikasi atau hadiah yang berpengaruh pada posisi jabatannya. Gratifikasi tersebut berupa satu unit mobil Toyota Harrier dan satu unit mobil Toyota Vellfire dengan nomor polisi B 69 AUD senilai Rp 735 juta rupiah.

Selain itu, Anas juga didakwa menerima hadiah kegiatan survei pemenangan Anas dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) senilai sekitar Rp 478 juta. Dakwaan lain yakni uang sejumlah Rp 116 miliar dan sekitar USD 5 juta. Anas juga disebut menerima uang Rp 84 miliar dan USD 36 ribu dari Muhammad Nazaruddin melalui perusahaan Permai Group. Uang tersebut digunakan untuk keperluan persiapan pencalonan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER