Jakarta, CNN Indonesia -- Pemeluk agama minoritas dan aliran kepercayaan Indonesia meminta pemerintah untuk mematuhi konstitusi perundangan yang melindungi hak atas kebebasan beragama. Sebab, pemerintah selama ini dinilai masih mengabaikan masalah tersebut.
Bona Sigalingging, juru bicara Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin mengatakan keputusan pemerintah untuk membiarkan penyegelan terhadap beberapa rumah ibadah dari pemeluk agama minoritas di Indonesia merupakan sebuah bentuk pembangkangan terhadap hukum. "Katanya ada supremasi hukum? Kok kasus-kasus penyegelan masih dibiarkan dan terkesan ditutup-tutupi?," kata dia saat dihubungi CNN Indonesia, Minggu (21/09).
Bona mengatakan momen perayaan hari perdamaian internasional yang jatuh pada hari ini mestinya bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk wujudkan keadilan bagi pemeluk agama minoritas termasuk perlindungan dari kaum intoleran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga hari ini pemeluk agama GKI Yasmin dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia terpaksa beribadah secara sembunyi-sembunyi akibat gereja peribadatan mereka di wilayah Bogor dan Setu Bekasi disegel oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Gereja GKI Yasmin resmi disegel oleh pemerintah kota (pemkot) Bogor sejak Maret 2010. Sementara, gereja HKBP Filadelfia dilarang digunakan sejak Maret 2013. Sejak penyegelan tersebut, pemeluk kedua kelompok itu rutin melakukan ibadah di depan Istana Negara Presiden sebagai aksi protes terhadap tindakan pemerintah.
Sesuai dasar hukum yang ada, hak-hak dari pemeluk agama di Indonesia, termasuk minoritas, semestinya mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Dasar hukum tersebut diantaranya undang-undang pemerintahan daerah, surat keputusan bersama (skb) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, serta Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2013 tentang penanggulangan gangguan keamanan dalam negeri. "Kalau merujuk semua peraturan perundangan tersebut, urusan agama tidak bisa diserahkan kepada Pemda, termasuk membiarkan pemda menyegel rumah-rumah peribadatan," kata dia menegaskan.
Bona mengatakan persoalan konflik beragama yang dilakukan oleh kelompok intoleran tidak serta merta bisa diselesaikan dengan relokasi. Relokasi, menurutnya, bukan solusi nyata dari upaya pemerintah mewujudkan keadilan bagi seluruh pemeluk agama di Indonesia. Pasalnya, keputusan lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah menyebutkan adanya izin mendirikan bangunan (IMB) GKI yasmin. Keputusan MA tersebut tertanggal 9 Desember 2010. "Kalau pemerintah tidak mau membuka segel berarti kan melanggar keputusan hukum," dia menjelaskan.
Tak hanya bagi minoritas kristen, diskriminasi juga masih dirasakan warga Ahmadiyah. Zafrullah Pontoh selaku juru bicara dari Ahmadiyah mengatakan pemeluk Ahmadiyah masih melakukan ibadah di rumah alih-alih di tempat peribadatan. Penyegelan yang dilakukan oleh pemda terhadap beberapa mesjid Ahmadiyah di Bekasi, Depok dan Bogor masih saja berlangsung. "Kami waktu itu sudah berusaha memperjuangkan dengan kuasa hukum tetapi belum ada keputusan dari PUTN hingga sekarang," ujar Zafrullah kepada CNN Indonesia via telepon.
Dia berharap hari perdamaian dunia bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mewujudkan perubahan yang signifikan atas kasus intoleransi beragama di Indonesia. Zafrullah mengatakan pemeluk Ahmadiyah sampai saat ini masih terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak konstitusi mereka di luar minimnya dukungan pemerintah. Salah satu yang terbaru adalah dengan mengadakan pertemuan dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Kementerian Agama kamis lalu.
Pemeluk Ahmadiyah selama ini telah mengalami berbagai perbuatan tidak menyenangkan demi mempertahankan keyakinan mereka, mulai dari pengusiran dari tanah kelahiran seperti yang dialami oleh Ahmadiyah yang tinggal di desa Pancor, Lombok Timur, hingga penyerangan dan pembakaran mesjid terhadap pemeluk Ahmadiyah di Tasikmalaya, Jawa Barat. Hingga kini, mereka masih belum bisa menjalankan ibadah dengan damai.
Sementara itu, Dewi Kanti dari advokasi Masyarakat Sunda Wiwitan mengatakan syarat mutlak perdamaian itu merujuk kepada bagaimana munculnya kesadaran akan makna kemanusiaan itu sendiri. "Sikap bangsa yang sudah memiliki kesadaran tinggi akan nilai kemanusiaan akan dilandasi oleh cinta kasih dan menghargai perbedaan," kata dia.
Pemerintah, menurutnya, masih belum bisa lepas dari berbagai kepentingan. Hal ini membuat perdamaian hakiki, terutama dalam pemaknaan toleransi terhadap keberagaman, belum juga terwujud. Padahal, hak-hak pemeluk agama dan kepercayaan telah dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pengabaian terhadap konstitusi mengakibatkan adanya diskriminasi terutama terhadap kaum minoritas seperti Sunda Wiwitan.