Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan pemerintah akan mengkaji regulasi yang dinilai tidak sejalan dengan upaya memberikan perlindungan terhadap seluruh pemeluk agama dan kepercayaan.
"Kami sedang melakukan identifikasi atas berbagai regulasi, apakah masih relevan dengan kondisi saat ini," Lukman menjelaskan kepada CNN Indonesia saat dihubungi Minggu (21/09).
Peraturan tersebut diantaranya undang-undang (uu), peraturan pemerintah (pp), peraturan pemerintah daerah (perda) dan peraturan bersama antara Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Jaksa Agung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kamis lalu, Kementerian Agama mengadakan forum diskusi yang dihadiri oleh perwakilan dari kementerian, kepolisian, utusan majelis agama, aktivis pemerhati kerukunan umat beragama dan keyakinan, serta penggiat hak asasi manusia. Pertemuan tersebut membahas tiga bahasan utama, yakni perlindungan negara terhadap umat beragama, pelayanan negara terkait rumah ibadah serta perlindungan negara terhadap pemeluk agama di luar enam agama diakui pemerintah. Dari pertemuan itu dihasilkan kesepakatan untuk mengkaji ulang regulasi yang dianggap menghambat upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan maksimal kepada seluruh pemeluk agama dan kepercayaan. "Semua pembahasan menjadi hasil rumusan final serta peta permasalahan untuk masukan pemerintah mendatang," ujarnya.
Persoalan intoleransi beragama di Indonesia hingga saat ini masih menjadi sorotan media. Beberapa kasus muncul di permukaan seperti kasus penyerangan mesjid warga Ahmadiyah di Tasikmalaya di Jawa Barat, penutupan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor dan gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, pengusiran warga Ahmadiyah di desa Pancor di Nusa Tenggara Barat dan warga Syiah di Sampang Madura, Jawa Timur.
Melihat tingginya kasus intoleransi, Lukman mengatakan banyak hal yang perlu dikaji dan ditangani oleh pemerintahan Presiden Terpilih Joko Widodo. Pemerintah mendatang, menurut dia, perlu menyamakan persepsi dan pemahaman terkait kewajiban negara memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap semua umat beragama di Indonesia. "Saat ini, persepsinya masih sering beda diantara perumus kebijakan," kata dia.
Persepsi yang dimaksud terkait dengan pandangan mengenai definisi agama dan kepercayaan itu sendiri. Kepercayaan seperti Sunda Wiwitan atau Kaharingan dan Parmalin bisa dikategorikan sebagai sebuah agama lokal atau tidak harus dibicarakan kembali antara pemerintah bersama dengan ormas keagamaan. Hal itu dinilai penting karena berdampak pada pengakuan hak-hak terhadap pemeluk agama di luar enam agama yang ditetapkan oleh pemerintah. "Mereka harus mendapatkan hak yang sama seperti pemeluk enam agama besar lainnya," dia menegaskan.
Sementara itu, Bona Sigalingging, juru bicara dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin mengatakan pemerintah semestinya bisa tegas terhadap kasus-kasus intoleran yang menimpa beberapa pemeluk agama minoritas. "Kami pingin pemerintah bersikap tegas dengan menindak orang yang menyebarkan kebencian," kata dia.
Selama ini, lanjutnya, pemerintah masih bersikap lemah terhadap kaum intoleran. Salah satunya dengan membiarkan penyegelan serta penyerangan terhadap rumah peribadatan dilakukan oleh kelompok intoleran. Padahal, sesuai peraturan yang berlaku, negara mesti memberikan perlindungan yang tidak terkecuali kepada seluruh warganya. Hal itu termasuk menjamin amannya kegiatan peribadatan kaum minoritas di tempat peribadatan mereka.
Hingga saat ini, umat dari GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia masih beribadat di luar tempat peribadatan, termasuk di depan Istana Negara, semenjak gereja mereka disegel oleh pemerintah daerah pada 2010 dan 2013.