Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Agus Sunarto mengkritisi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melegalkan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) secara berulang ke Mahkamah Agung (MA).
"Yang kami khawatirkan adalah dampaknya pada koruptor yang mengajukan PK, bisa mengajukan kapan pun kalau ada bukti baru yang menunjukkan kalau mereka tidak bersalah," ucap Agus ketika dihubungi CNN Indonesia di Jakarta, Selasa (23/9).
Lebih jauh, Agus menjelaskan dengan adanya pengajuan PK berulang maka berpotensi meringankan vonis sebelumnya. "Kalau ada bukti baru, mereka bisa dapat diskon dan diloloskan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengajuan PK lebih dari satu kali, juga menyebabkan merebaknya kongkalikong dengan mafia hukum. "Koruptor mereka berjejaring dan masif. Dengan kekuatan uang yang mereka punya, mereka membangun kekuatan di dlm lapas (lembaga permasyarakatan) dan di luar lapas, mencari celah potensi mafia hukum," ucapnya.
Pegiat antikorupsi tersebut juga menyangsikan pengawasan terhadap mafia hukum dan peradilan. "Sudah ada fakta upaya melemahkan penegak hukum. Sekarang saja banyak hakim yang ditangkap KPK. Jaksa dan polisi juga melajukan korupsi," ujarnya.
Agus menambahkan, kalaupun ada PK, mekanisme pengajuan dan pengawasannya harus diperketat. "Harus melihat bukti. Harus diawasi, harus ada orang-orang yang memiliki intergritas tinggi, hakimnya jangan samapai terpengaruh," tuturnya.
Sebelumnya, MK melalui putusan nomor 34/PUU-XI/2013 membatalkan pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang membatasi pengajuan PK sebanyak satu kali. Dengan tidak berlakunya pasal tersebut, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK berulang kali.
Meski demikian, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Ganarsih menututkan pengajuan PK harus disertai dengan tiga syarat. "Ada novum atau bukti baru yang di pengadilan tidak terungkap, ada pertentangan putusan di tingkatan sebelumnya, dan kekhilafan penerapan hukum oleh hakim," kata Yenti ketika dihubungi CNN Indonesia.