Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Yenti Ganarsih mempertanyakan kewibawaan hakim apabila pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dilakukan berulang kali. "PK ini upaya hukum luar biasa, kalau di Indonesia sering muncul, kewibawaan hakim dipertanyakan," kata Yenti ketika dihubungi CNN Indonesia, Selasa (23/9).
Yenti menyayangkan pemberian ruang bagi terpidana yang dilakukan tanpa mempertimbangkan asas kepastian hukum. Menurutnya, fenomena yang terjadi di Indonesia adalah pengajuan PK dilakukan hampir setiap kali adanya putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA).
"Kalau punya penegak hakim yang bagus, pasti tidak memungkinkan adanya peluang itu. Indonesia memandang PK sebagai upaya hukum biasa setelah kasasi," ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Yenti menjelaskan, di luar negeri sangat jarang sekali ditemukan pengajuan PK. "PK itu upaya hukum luar biasa. Memang diatur, tapi jarang yang mengajukan," ujarnya.
Selain itu, Yenti juga mengkhawatirkan adanya penumpukan perkara yang harus diselesaikan oleh MA, apabila PK diajukan lebih dari satu kali. "Kalau PK dibuka seluas-luasnya dan sampai kapan pun, maka pengadilan akan kacau. Kalau kepastian hukumnya tidak pasti, pihak tertentu akan was-was terus," ujarnya.
Berbeda dengan Yenti, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakir menganggap pengajuan PK lebih dari satu kali merupakan bentuk upaya penegakan keadilan. "Usaha orang untuk mencari keadilan harus diberi jalan. Kalau tidak, mereka bisa main hakim sendiri," ucap Mudzakir ketika dihubungi CNN Indonesia, Selasa (23/9).
Mudzakir menambahkan, pengajuan PK lebih dari satu kali boleh ditetapkan jika ditemukan novum atau alat bukti baru. "Apabila dipertimbangkan, mengubah putusan bisa diajukan untuk mencari terobosan hukum. Jika ditemukan fakta hukum baru, dengan cara itulah menurut saya problem hukum dapat diatasi," ujarnya.
Ketika ditanya ihwal terbukanya ruang "lobi" dalam pengajuan PK, Mudzakir menampiknya. "Jangan sampai diberi ruang praduga yang tidak baik. Kalau urusan penyalahgunaan wewenang pun, melalui prosedur biasa dan perkara biasa, bukan berarti tidak ada potensi demikian. Kalau ada penyalahgunaan wewenang, bukan karena PK-nya," katanya. PK, menurut Mudzakir, tidak juga berarti bertujuan untuk memberatkan atau meringankan hukuman.
Mudzakir menambahkan, untuk mengatasi potensi semakin banyaknya perkara yang diajukan Peninjauan Kembali, dia menyarankan dibuatnya seleksi administrasi. "Jadi itu cukup dengan seleksi administrasi. Ada proses administrasi oleh hakim pendahulu, apakah layak diajukan atau tidak. Kalau tidak layak diajukan, ya sudah di cut saja," kata Mudzakir.
Sebelumnya, MK melalui putusan nomor 34/PUU-XI/2013 membatalkan pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang membatasi pengajuan PK sebanyak satu kali. Dengan tidak berlakunya pasal tersebut, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK berulang kali dengan tiga syarat yakni adanya novum atau bukti baru yang di pengadilan tidak terungkap, ada pertentangan putusan di tingkatan sebelumnya, dan kekhilafan penerapan hukum oleh hakim.