KASUS PELECEHAN SEKSUAL

Instrumen Hukum Penjerat Pelaku Dinilai Lemah

CNN Indonesia
Rabu, 24 Sep 2014 09:20 WIB
Aparat masih mengandalkan KUHP dan KUHAP yang terlalu umum. Instrumen ini dinilai sudah usang pula.
Il
Jakarta, CNN Indonesia -- Instrumen hukum yang digunakan aparat berwenang untuk menindak dan menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan seksual dinilai praktisi hukum masih lemah. Aparat masih mengandalkan KUHP dan KUHAP yang terlalu umum.

Ratna Batara Munti, Direktur dari Lembaga Bantuan Hukum APIK (Lembaga Bantuan Hukum- Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), mengatakan selama ini kasus kejahatan seksual termasuk pemerkosaan dan pelecehan masih mengandalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk mendakwa pelaku kejahatan seksual terhadap perempuan.

“Padahal, secara umum kita masih menghadapi respon aparat penegak hukum yang belum sensitif terhadap kepentingan korban,” Ratna menjelaskan kepada CNN Indonesia ditemui langsung di kantor LBH Apik di Pasar Rebo, Jakarta Timur, Senin (22/09).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perempuan, yang juga berprofesi sebagai dosen paska sarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia (UI) tersebut, mengatakan pasal-pasal yang ada dalam kedua instrumen hukum tersebut tidak kuat untuk menjerat pelaku kejahatan seksual. Persoalannya terdapat pada penjelasan pasal yang terlalu umum serta ketiadaan minimal sanksi.

Sehingga, dalam banyak kasus, pelaku pelecehan seksual hanya bisa dijerat dengan hukuman pidana kategori ringan bahkan lepas dari sanksi hukum. Terlebih, kasus terancam dihentikan meskipun masih berada pada tataran penyidikan.

“Misalnya saja kasus pelecehan YF oleh petugas Transjakarta. Akhirnya hanya dikenai hukuman 1 tahun 6 bulan saja,” dia menerangkan.

Ratna mengatakan dalam kasus pelecehan seksual, pendamping korban dan kuasa hukum, sering mengajukan pasal 290 ayat 1 KUHP yang memuat kategori perbuatan cabul. Dalam pasal tersebut, dia menambahkan, tidak dijelaskan secara spesifik mengenai apakah perbuatan cabul itu. Akibatnya, penentuan apakah sebuah tindakan termasuk cabul atau tidak tergantung dari perspektif dan keputusan penyidik kepolisan atau aparat berwenang.

“Mestinya kata cabul di sini diganti. Kalau cabul kan konotasinya masyarakat yang menilai. Kalau tidak cabul, ya sudah dihentikan kasusnya,” dia menerangkan lagi.

Selain pasal tersebut, pengertian pemerkosaan dalam pasal 285 tentang pemerkosaan pada KUHP juga bermakna sempit. Berdasarkan pasal tersebut, pengertian pemerkosaan hanya terbatas pada penetrasi dari alat kelamin pria ke alat kelamin wanita.

Jika penyidikan dilakukan dengan merujuk pasal tersebut, ujarnya, aparat akan cenderung meminta pembuktian fisik. Padahal, banyak bukti lain yang masih bisa digunakan termasuk penjelasan saksi ahli seperti psikolog, ahli gender dan kajian wanita serta praktisi hukum, untuk menjadi pertimbangan penyidik.

Sementara itu, Tien Handayani, ketua bidang studi hukum masyarakat dan pembangunan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) mengatakan hukum yang usang juga diperparah dengan keengganan aparat berwenang mencari celah menyiasati keterbatasan penjelasan pasal pada KUHAP dan KUHP.

“Di manapun dia berada, sebenarnya hakim diberikan kebebasan dan naluri dan bisa memutus berdasarkan keadilan sesuai naluri tersebut,” dia mengatakan. “Sayangnya hakim atau aparat yang mau berperspektif seperti itu masih jarang.”

Tien menambahkan aparat semestinya juga mempertimbangkan dan melihat dari perspektif yang lebih luas dalam menangani perkara. Misalnya, manipulasi psikologis yang dilakukan oleh pelaku. Dalam kasus RW kemarin, Tien, yang juga menjadi kuasa hukum pro bono RW, mengatakan terdapat manipulasi psikologis dari Sitok Srengenge kepada RW.

“Itu yang dikatakan oleh psikolog pendamping RW, yakni, Sulistyowati Irianto. Ini semestinya bisa jadi pertimbangan juga oleh kepolisian,” dia menjelaskan.

Tien kemudian menegaskan mengenai klausul pemerkosaan dalam KUHP, semestinya saat seorang perempuan sudah menyatakan ketidaksetujuannya dengan perbuatan tersebut, sudah bisa didakwa ke dalam pemerkosaan. Bukan kemudian dianggap sebagai perbuatan suka sama suka.

“Di sini kan tidak. Masih banyak pertanyaan terlontar dari penyidik seperti 'Kamu juga menikmatinya, kan?',” kata Tien yang juga ketua Klinik Perempuan dan Anak FHUI.

Ratna kemudian berharap agar pemerintah bisa segera mengesahkan sebuah undang-undang khusus, lex specialis, yang lebih melindungi kepentingan korban kejahatan seksual. Dalam UU tersebut, lanjutnya, bisa memuat definisi yang lebih spesifik mengenai pemerkosaan, pencabulan, serta memuat bab-bab tersendiri mulai dari pembuktian, pencegahan serta penghukuman.

“Pemerintah bisa mencontoh UU PKDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang sudah spesifik dan komprehensif,” dia menutup pembicaraan.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER