KASUS PELECEHAN SEKSUAL

Tanpa Empati, Penyidik Bisa Bangkitkan Trauma

CNN Indonesia
Rabu, 24 Sep 2014 09:57 WIB
Kisah polwan penyidik kasus kekerasan dan pelecehan seksual.
Ilu
Jakarta, CNN Indonesia -- Sundari, mantan penyidik unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia (Polri), selalu bersemangat ketika mengisahkan kembali pekerjaannya sebagai penyidik  empat tahun silam.

“Butuh komitmen pribadi serta integritas dari seorang polisi wanita (polwan) untuk menekuni bidang berkarakter khusus ini,” cerita Sundari kepada CNN Indonesia, Selasa (24/09).

Polisi wanita, yang saat ini bertugas di Badan Narkotika Nasional (BNN) itu, mengatakan seorang penyidik yang menangani kasus karakter khusus seperti anak dan perempuan mesti memiliki perspektif berbeda dari penyidik umumnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Penyidik karakter khusus mesti memiliki empati mendalam dan memperhatikan sikap serta cara bertanya kepada korban,” ujarnya. “Umumnya sesama perempuan bisa lebih memikirkan korban.”
 
Sundari melanjutkan penyidik yang tidak mempunyai kepekaan seringkali akan melontarkan pertanyaan berulang yang bisa melukai serta membangkitkan kembali trauma korban.

Dia mencontohkan beberapa pertanyaan seperti 'kamu menikmatinya, bukan?' atau 'pakaian kamu sih seperti itu (seronok)' mesti dihindari oleh seorang penyidik kasus khusus kejahatan seksual perempuan.  Pertanyaan tersebut hanya akan memunculkan keengganan dari diri korban untuk bercerita lebih lanjut.

Setiap kali melakukan tanya jawab terhadap korban kejahatan seksual, Sundari mengatakan dia selalu menghindari bentuk percakapan formal seperti yang dilakukan penyidik kasus kriminal umumnya.  

“Saya juga tidak pernah melakukan tanya jawab dengan face to face (berhadap-hadapan),” dia menjelaskan. “Korban akan tegang dan tak banyak bercerita.”

Percakapan itu biasanya dilakukan Sundari di dalam ruangan khusus yang didesain sekasual mungkin dan bisa menciptakan suasana santai dan bersahabat bagi korban. Polri sendiri telah menyediakan sebuah ruangan khusus untuk penanganan korban kekerasan perempuan dan anak.  

Merujuk kepada PerKap (Peraturan Kapolri) Nomor 10 tahun 2007, Ruangan Pelayanan Khusus (RPK) didirikan. Di dalam RPK, terdapat beberapa ruang seperti ruang tamu, ruang kontrol, ruang istirahat dan ruang konseling.  Ruangan bernuansa tenang tersebut dibutuhkan karena tak jarang di sela-sela percakapan, korban bisa menangis histeris tak terkendali, ujarnya.

Sementara itu, dalam menangani kasus pelecehan seksual, Sundari mengatakan banyak tantangan yang dihadapi oleh seorang penyidik. Salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia menyatakan diperlukan dua alat bukti termasuk bukti fisik untuk menyeret pelaku ke ranah pidana.

“Kalau di luar negeri, kata-kata yang tidak menyenangkan atau tindakan yang merangsang atau menyenggol alat vital sudah bisa dipidanakan,” dia menerangkan.

Sementara, di Indonesia, penyidik mesti mendapatkan bukti visum yang menunjukkan rusaknya alat kelamin korban. Tak hanya itu, biasanya, korban juga melapor ke penegak hukum dalam jenjang waktu yang cukup lama setelah kejadian berlangsung. Akibatnya, barang bukti akan hilang mulai dari rekaman percakapan komunikasi via telepon, pesan singkat atau surel hingga ceceran sperma.

“Oleh karena itu penyidik mesti lebih kreatif mencari bukti-bukti pendukung termasuk memilih saksi ahli,” perempuan yang pernah mengajar di Jakarta Centre for Law Enforcement Centre (JCLEC) tersebut menegaskan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER