UU PERLINDUNGAN ANAK

Sanksi untuk Pelaku Dinilai Terlalu Enteng

CNN Indonesia
Jumat, 26 Sep 2014 11:39 WIB
Revisi UU Perlindungan Anak akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (25/09). Sayangnya, sanksi bagi pelaku kejahatan anak terlalu enteng.
Foto ilustrasi kekerasan terhadap anak (Agung Pambudhy/Detikfoto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Meski demikian, pakar anak melihat UU revisi ini masih tetap lemah dari segi penegakan hukum.

Ketua Komisi Nasional (Komnas) Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan revisi UU Perlindungan Anak yang disahkan DPR masih belum substanstial karena tidak mengakomodasi sanksi hukum yang kuat bagi pelaku kejahatan seksual.

Menurut UU Perlindungan Anak yang baru tersebut, pelaku kejahatan seksual terhadap anak hanya dikenakan sanksi hukum minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun. Padahal, para aktivis dan pemerhati anak mengajukan peningkatan hukuman menjadi minimal 20 tahun dan maksimal seumur hidup untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Yang sangat mendesak dan dibutuhkan saat ini adalah penegakan hukum karena belum berkeadilan bagi korban, bukan persoalan lain seperti pembentukan pelembagaan,” kata Arist menjelaskan kepada CNN Indonesia, Jumat (26/09).

Pada Kamis (25/09), DPR mengesahkan revisi UU Perlindungan Anak sebelum mengadakan rapat paripurna RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam UU Perlindungan Anak tersebut, pemerintah menyetujui permohonan pembentukan lembaga perlindungan anak di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, yang akan mengikat kewajiban pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap anak.

Namun, DPR menolak permohonan untuk memaksimalkan sanksi hukuman menjadi seumur hidup terhadap pelaku kejahatan seksual. Alasannya, bisa bertentangan dengan instrumen hukum yang sudah ada, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Instrumen hukum tersebut tidak memuat hukuman seumur hidup untuk pelaku kejahatan seksual.

“Lemahnya sanksi hukum buat pelaku kejahatan seksual hanya akan membuat Indonesia menjadi surga kejahatan seksual dunia,” dia menegaskan.

Arist mencontohkan negara-negara tetangga, seperti Filipina, Vietnam serta Thailand telah memberlakukan sanksi hukum yang sangat ketat bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Bahkan, Malaysia, ujarnya, akan mengadopsi hukuman kebiri bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan pedofilia. Hukuman ini diperketat oleh negara-negara tersebut sebab Asia sudah menjadi target utama sindikat pelaku kejahatan seksual internasional.

Sementara itu, Ilma Sovri Yanti dari Satuan Tugas Perlindungan Anak, mengatakan sejauh ini Indonesia sudah memiliki banyak undang-undang terkait perlindungan anak. Sayangnya, produk hukum tersebut seringkali justru malah tumpang tindih satu sama lain. 

"Kita sebagai praktisi mesti sangat hati-hati ketika di lapangan. Kalau tidak niat menolong malah justru terjerat pasal pidana di instrumen hukum yang lain," dia mengatakan. 

Ilma mencontohkan ada satu pasal di UU Perlindungan Anak membahas kewajiban memberikan perlindungan pada anak yang membutuhkan pertolongan. Sayangnya, pasal tersebut bertentangan dengan pasal 332 KUHP yang menyatakan tentang penculikan. Praktisi dan aktivis anak yang berupaya memberikan pertolongan pada korban anak-anak justru bisa dikriminalisasi dengan pasal KUHP tersebut. Misalnya, pada kasus anak-anak korban kekerasan di Panti Samuel, yang menjerat Arist Merdeka Sirait dengan pasal penculikan.

Pengesahan revisi UU Perlindungan Anak oleh DPR, kata Ilma melanjutkan, tidak akan efektif jika pemerintah tidak mencari cara untuk mensinergiskan produk-produk hukum.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER