Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah dua pekan ditetapkan sebagai tersangka, bekas politikus Partai Hanura, Bambang W Soeharto untuk kali pertama dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi. Bambang akan menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan suap yang turut menjerat Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat, M Subri.
"BWS dipanggil untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tindak pidana korupsi," ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha, Jumat (26/9).
Bambang ditetapkan sebagai tersangka sejak Jumat dua pekan lalu. Dia diduga berpartisipasi melakukan suap bersama anak buahnya, Direktur PT Pantai AAN Lusita Anie Razak, yang lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"BWS ditetapkan sebagai tersangka karena diduga turut terlibat bersama-sama LAR melakukan tindak pidana dalam kasus pengembangan Kajari Praya, NTB," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di gedung KPK. Dia diduga memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait jabatannya.
Atas tindakan tersebut, Bambang dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Johan mengatakan penetapan BWS tertunda cukup lama karena penyidik kesulitan untuk mendapatkan alat bukti. "Baru sekarang bisa diumumkan karena dua alat bukti yang dibutuhkan baru didapat," kata Johan. Dari alat bukti yang disita, penyidik mendapati uang senilai USD 16.400 dan Rp 23 Juta.
Lusita, sebelumnya, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK di sebuah hotel di kawasan Senggigi, Lombok 15 Desember 2013. Dari hasil operasi itu, KPK mengamankan Lusita dan Subri. Lusita dituntut lima tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum pengadilan Tipikor Lombok karena terbukti melakukan penyuapan dalam pengurusan perkara terkait pemalsuan dokumen sertifikat tanah di wilayah Kabupaten Lombok Tengah. Sementara Subri, sebagai penerima suap, divonis bersalah dan dipidana selama 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp 250 juta subsider 5 tahun kurungan.
Dalam sidang putusan 25 Juli 2014, Subri dinilai terbukti mengetahui dan menyadari telah menerima uang sebesar Rp 100 juta dari Lusita dan Bambang, agar Subri selaku Kajari Praya mengatur penuntutan terhadap Sugiharta, dalam perkara dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen sertifikat tanah atas nama Sugiharta.
Setelah mengantongi duit itu, Subri lantas menghubungi Kasatreskrim Polres Lombok Tengah Deni Septiawan untuk mempercepat penyidikan dan melakukan penahanan terhadap Sugiharta dalam perkara tindak pidana penyerobotan tanah milik PT Pantai AAN di Praya.
Lusita dan Bambang juga menjanjikan uang sebesar Rp 100 juta kepada Deni Septiawan agar Deni, selaku penyidik, mempercepat penyidikan dan melakukan penahanan terhadap Sugiharta dalam perkara tersebut dengan menggunakan surat yang tidak berdasar.
Subri bersama Lusita, Bambang, dan Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejaksaan Negeri Praya Apriyanto Kurniawan menjanjikan uang sebesar Rp 25 juta kepada mantan hakim Pengadilan Negeri Praya Desak Ketut Yuni Aryanti. Pemberian itu dimaksudkan agar Desa, selaku hakim, menghubungi dan memengaruhi anggota hakim lainnya, yakni Dewi Santini dan Anak Agung Putra Wiratjaya, yang memeriksa dan mengadili kasus Sugiharta sehingga tuntutan penuntut umum dapat terbukti.
Subri dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan Lusita dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.