UU PERLINDUNGAN ANAK

Produk Hukumnya Masih Tumpang Tindih

CNN Indonesia
Jumat, 26 Sep 2014 14:28 WIB
DPR ketok palu revisi UU Perlindungan Anak Kamis (25/09) kemarin. Namun, pakar menilai produk hukum yang mengatur perlindungan anak masih tumpang tindih
Ilustrasi foto anak (Ari Saputra/Detikfoto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Meski Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan revisi Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, jalan untuk mewujudkan perlindungan maksimal bagi anak-anak tampaknya masih bolong-bolong.

Pemerintah memang telah maju selangkah dalam memperketat sistem perlindungan anak-anak Indonesia dengan menerima proposal Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga tersebut pada Agustus ini mengajukan draft revisi pasal-pasal UU Perlindungan Anak, yang dianggap kurang kuat melindungi anak dari tindak kejahatan. Dalam waktu kurang lebih sebulan, DPR langsung sepakat mengesahkan draft revisi tersebut.

Erlinda, Sekretaris Jenderal KPAI, mengucapkan apresiasinya terhadap upaya cepat pemerintah menggolkan revisi tersebut. Namun, dia juga mengatakan kekecewaan atas gagalnya upaya untuk memberikan hukuman maksimal pada pelaku kejahatan anak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak menyatakan hukuman maksimal penjara hanya 15 tahun dan minimal 5 tahun bagi pelaku kejahatan seksual anak. Padahal kami memintanya hukuman seumur hidup,” dia menjelaskan pada CNN Indonesia, Jumat (26/09).

Namun demikian, dia bersyukur karena akhirnya Pemerintah Daerah (Pemda) diberikan kewajiban untuk membuat lembaga perlindungan anak di tahap provinsi dan kabupaten/kota. Hal itu, bisa membantu kerja Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2) yang akhir-akhir ini, ujarnya, selalu kewalahan menangani kasus anak.

Ungkapan kekecewaan juga muncul dari Arist Merdeka Sirait selaku Ketua Komisi Nasional Anak (Komnas Anak). Menurutnya, rendahnya sanksi pidana pada pelaku kejahatan seksual pada anak bisa menyebabkan Indonesia menjadi target kejahatan seksual anak oleh jaringan kriminal internasional.

Minimnya sanksi hukum pada pelaku kejahatan terhadap anak, ujar Arist, disebabkan oleh adanya tumpang tindih dengan instrumen hukum lain seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ilma Sovri Yanti dari Satgas Perlindungan Anak mengatakan sebenarnya tugas utama dari pemerintah bukan hanya merevisi pasal dan mengesahkan undang-undang. Melainkan, bagaimana mensinergiskan semua instrumen hukum supaya tidak saling bentrok satu sama lain.

“Sebenarnya undang-undangnya sudah nyaris sempurna. Namun, yang perlu diperhatikan ketika menjalankan instrumen hukum tersebut suka bertentangan dengan undang-undang yang lain,” dia mengatakan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER