Jakarta, CNN Indonesia -- Selain hukuman badan, Komisi Pemberantasan Korupsi ternyata menjatuhkan tuntutan pencabutan hak politik bagi terdakwa kasus dugaan suap terhadap Bupati Biak Numfor, Yesaya Sombuk. Tuntutan ini berarti menambah panjang deretan pejabat publik yang dimintakan pencabutan hak politiknya oleh komisi antirasuah.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Senin (29/9), jaksa KPK meminta majelis hakim agar sang bupati tak lagi diberikan hak untuk memilih dan dipilih menjadi pejabat publik.
"Hal yang memberatkan adalah tindakannya sebagai pejabat publik dilakukan saat negara sedang giatnya melakukan pemberantasan korupsi," kata jaksa dalam tuntutannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pencabutan hak politik ini sebelumnya sudah dikenakan terhadap beberapa pejabat publik yang terbukti melakukan korupsi. Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi dan Gubernur Banten non aktif Atut Chosiyah adalah contoh dari sekian banyak pejabat yang pernah dituntutkan hal yang sama.
Menanggapi tuntutan tersebut, kuasa hukum Yesaya mengajukan keberatan. "Kami akan mengajukan dua nota pribadi dari Yesaya dan kuasa hukum," kata kuasa hukum Yesaya, Rahman Ramli, saat sidang. Nota pribadi tersebut akan dibacakan di sidang selanjutnya, pada Senin (13/10) mendatang.
Dalam tuntutannya, jaksa memintakan hukuman enam tahun penjara atas penerimaan suap dalam proyek tanggul laut bagi Yesaya. Selain itu, jak juga memintakan hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana enam tahun dan denda Rp 250 juta rupiah, subsidair lima bulan kurungan.
Sebelumnya, Yesaya didakwa dengan pasal berlapis. Ia didakwa primer melanggar pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 KUHPidana. Ia juga dijerat pasal 5 ayat 2 dan pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat 1 KUHPidana. Dalam pasal tersebut, ditegaskan bahwa penyelenggara negara tidak dizinkan menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu pada jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.