Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang diajukan PDI Perjuangan.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata hakim ketua Hamdan Zoelva saat sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/9).
Menurut majelis, perubahan pengaturan mekanisme pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR, tidak bertentangan dengan UUD 1945 seperti yang didalilkan pemohon. "UUD 1945 hanya menentukan susunan DPR. Menurut mahkamah, bagaimana pembentukan organisasi termasuk mekanisme pemilihan pimpinannya adalah kebijakan pembuat undang-undang," ucap hakim anggota Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan majelis mengambil putusan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara konfigurasi pemilihan pimpinan DPR yakni partai pemenang dalam pemilu menjadi ketua, partai yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, dan keempat menjadi wakil, tidak berdasar hukum. Dengan demikian, MK memutuskan perubahan UU MD3 sah secara hukum. Mekanisme perubahan tersebut, menurut majelis, dapat ditentukan anggota DPR atau ditentukan komposisi jumlah fraksi di DPR.
Sebagai pemohon adalah oleh tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, Trimedya Panjaitan, dan Tjahjo Kumolo. Selain itu, terlrdapat pula individu yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Menanggapi putusan tersebut, Ketua Bidang Hukum PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan mengatakan kekecewaanya. "Seharusnya hakim mahkamah mendengar ahli dan tidak perlu putusan terburu-buru, harusnya putusan sela, baru hakim mendengar keetrangan ahli kami, mengajukan alat bukti, dan mengambil putusan," ucap Trimedya usai sidang.
Dalam putusan tersebut, terdapat perbedaan pendapat dari dua hakim konstitusi yakni Maria Farida Indrati dan Arief Hidayat. Menurut kedua hakim, secara formil, pembentukan, dan materiil, UU MD3 cacat hukum.
"Produk undang-undang dibentuk tidak berdasar hukum tapi kepentingan politik. Perubahan tidak ada dalam naskah akademik. Khususnya yang menentukan pimpinan lembaga dan alat kelengkapanya. Harusnya disiapkan jauh hari sebelum kontestasi pemilihan umum dimulai," ucap Maria dalam sidang.
Hakim Arief Hidayat juga mengaku perubahan UU MD3 yang dilakukan hampir setiap lima tahun sekali dapat menimbulkan ketidakpastian hukum "Masyarakat yang menggunakan hak pilih, mengharapkan partai politik yang menang dalam pemilu menjadi pimpinan wakilnya," kata Hamdan Zoelva mewakilkan Arief Hidayat dalam catatan perbedaan pendapat.
Menanggapi fakta persidangan tersebut, Trimedya mengaku bahwa kedua hakim yang berbeda pendapat telah melindungi hak konstitusionalnya. "Dissenting opinion jarang terjadi dalam proses uji materi. Ini menunjukkan mereka tidak bulat. Pembentukan UU MD3 bertentangan dengan asas hukum dan mereka mencium ada konflik politik. Ini yg kita rasakan," kata Trimedya.
Sebelumnya, pada 5 Agustus 2014, mereka meminta pengujian pasal 84, pasal 97, pasal 104, pasal 109, pasal 115, pasal 121, dan pasal 152. Dalam pasal tersebut, aturan pemilihan pimpinan DPR tidak lagi diberikan secara langsung pada partai pemenang pemilu legislatif. Pemilihan ketua DPR menganut sistem paket yang diajukan oleh lima fraksi untuk posisi satu ketua dan empat wakil ketua.
Menurut PDIP, peraturan tersebut bertentangan dengan pasal 82 ayat 1 UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MD3 sebelum direvisi, yang menetapkan pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang berasal dari partai pemenang pemilu. Merujuk pada surat keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 411/KPTS/KPU/2014, PDIP mendulang suara terbanyak berkisar 23 juta suara sah (18,9%).
PDIP mengklaim hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan adanya peraturan MD3 yang baru. Meski demikian, dengan adanya putusan MK tersebut, PDIP sebagai pemenang pemilu tak lagi dapat menduduki kursi panas pimpinan lembaga legislatif tersebut. Pimpinan DPR harus diajukan dari koalisi fraksi.