Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah meminta organisasi masyarakat bergerak di bidang perempuan dan anak untuk membantu tekan angka kematian ibu yang tidak mengalami penurunan. Direktur Bidang PUG Bidang Polsoskum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Heru Prasetyo mengatakan peran ormas dinilai penting untuk membantu sosialisasi dan edukasi ke masyarakat luas mengenai kehamilan beresiko.
"Menurut kajian dari Riset Kesehatan Dasar, tingginya Kematian Ibu terutama disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan informasi terkait ibu hamil beresiko," kata Heru dalam fokus diskusi grup yang diadakan di Jakarta Pusat, Selasa (30/9).
Menurut data Riskesdas Angka Kematian Ibu mencapai 228 per 100 ribu kelahiran hidup pada 2007. Jumlah ini meningkat menjadi 359 Ibu per 100 ribu kelahiran hidup pada 2012. Sementara, pada 2015, pemerintah Indonesia menargetkan angka kematian ibu menjadi 102 per 100 ribu kelahiran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam literatur demografi, AKI merupakan indikator yang menunjukkan banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau selama 42 hari sejak kehamilan per 100.000 kelahiran hidup.
Dari data Riskesdas juga diketahui presentasi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2007, jumlah tenaga kesehatan terlatih baru mencapai 73 persen. Sementara, pada 2012 angkanya meningkat menjadi 90 persen. Sayangnya peningkatan ini tidak lantas diikuti dengan turunnya angka kematian ibu.
"Data tersebut membuktikan kalau persoalan ada di sisi masyarakat. Ada ketidakterjangkauan informasi oleh masyarakat," jelasnya.
Dia melanjutkan ketidakterjangkauan informasi tersebut menyebabkan identifikasi pada kehamilan beresiko menjadi minim. Alhasil, ketika seorang ibu hamil sampai ke rumah sakit, kondisi kesehatannya biasanya sudah cukup parah.
"Dari informasi di lapangan, banyak kematian ibu hamil (bumil) disebabkan oleh pendarahan dan keracunan kehamilan," ujar dia. "Telat membawa ke RS menyebabkan bumil tidak terselamatkan nyawanya."
Sementara itu, Chairunnisa selaku Ketua organisasi perempuan Muhammadiyah Aisyiyah mengatakan organisasi tersebut selama ini telah melakukan kerjasama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait penyuluhan dan edukasi penurunan AKI di empat provinsi, yakni Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu melalui Desa Siaga Qaryah Taryibah.
"Kader kami melakukan pendataan mengenai ibu hamil dan memberikan edukasi kepada mereka untuk mau melahirkan di rumah sakit tidak di dukun," dia menjelaskan.
Chairunnisa lantas melanjutkan persoalan utama yang dihadapi oleh para kader di lapangan lebih terkait pada persoalan infrastruktur.
Dia menjelaskan menurut keterangan salah satu kader di Kalimantan ada warga yang mesti berjalan kaki 10 kilometer untuk datang ke fasilitas kesehatan. Jauhnya lokasi fasilitas kesehatan dengan rumah penduduk menyebabkan ibu hamil menjadi malas memeriksakan dirinya ke bidan atau tenaga kesehatan terlatih.
Hal senada juga dilontarkan Arthia Moerseno selaku Sekretaris Jenderal Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Organisasi perempuan tersebut, katanya, sudah sejak lama aktif mendampingi tenaga kesehatan di daerah. Berdasarkan pengalaman mereka, ada salah satu anggotanya terpaksa membantu persalinan di atas perahu karena jarak fasilitas kesehatan yang jauh dari rumah warga.
"Sayangnya, kami belum dapat cukup informasi untuk atasi situasi darurat seperti ini," kata dia.
Heru kemudian mengatakan pemerintah akan membuat modul mengenai penurunan angka kematian ibu yang akan dibagikan kepada ormas sebagai panduan praktik di lapangan. "Mudah-mudahan dengan modul ini, sosialisasi ke masyarakat mengenai kehamilan beresiko bisa lebih maksimal,"ujarnya.